Harga Rapid Test Maksimal Rp 150 Ribu, Kemenkes Curiga Ada Komersialisasi Rapid Test
JAKARTA-Harga rapid test di pasaran dinilai tak wajar. Terlalu mahal. Sehingga membuat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengeluarkan surat edaran (SE) pada 6 Juli lalu. Isinya, mengatur harga rapid test yang disediakan di rumah sakit dan tempat layanan kesehatan lainnya. Harga dipantok maksimal Rp 150 ribu. Sebelum ada SE Kemenkes, biaya untuk rapid test tak terkendali. Mulai Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu. Beberapa rumah sakit sudah mengikuti aturan tersebut. Meski dirasakan tarif tersebut membuat rugi. Dirjen Direktur Jendral Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo kemarin (9/7) mengungkapkan alasan dia mengeluarkan surat edaran nomor HK.02.02/I/2875/2020. Dia melihat ada komersialisasi rapid test di lapangan. Sehingga perlu mengatur tarif yang ada. ”Kalau harganya Rp 75 ribu, cukup tidak?” kata Bambang. Dia menuturkan bahwa harga maksimal yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehetan tidak membuat faskes rugi. Pihaknya telah menghitung ongkos produksi dan kewajaran di lapangan. Kemenkes melalui surat edarannya mengatakan bahwa harga rapid test di layanan kesehatan maksimal Rp 150 ribu. Selain itu, dengan harga itu akan terjadi kemudahan akses bagi seluruh masyarakat. Artinya tidak memberatkan. ”Dengan surat edaran kami mendorong faskes dan produsen berpihak pada situasi seperti ini (pandemic Covid-19),” ungkap Bambang. Bambang juga meminta agar tidak melihat dari satu sisi saja. Sebab pemerintah sudah memberikan insentif kepada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang menangani Covid-19. Beberapa hari setelah SE tersebut dikeluarkan, Bambang mendapat laporan bahwa sudah banyak faskes yang menurunkan harga rapid test-nya. Lalu apa sanksi bagi yang bandel? Bambang tak menjawab dengan pasti. Menko PMK Muhadjir Effendy yang justru menegaskan. Dalam kesempatan yang sama, Muhadjir mengatakan bahwa sanksi ada berbagai macam. Mulai dari teguran hingga sanksi administratif lainnya. Di lapangan, rumah sakit pun mulai mengikuti imbauan Kementerian Kesehatan untuk menyamakan standar harga rapid test. Misalnya rumah sakit yang ada di bawah Eka Hospital Group. Grup yang memiliki empat rumah sakit di beberapa kota besar ini mulai menerapkan biaya Rp 150 ribu untuk rapid test. Public Relation Eka Hospital Group Erwin Suyanto menjelaskan bahwa biaya ini sama dengan modal operasional mereka. Sebelumnya rumah sakit ini memberlakukan tarif pasaran Rp 350 ribu. "Pasar ada yang Rp 500 ribu, Rp 480 ribu, kita usahakan selalu paling murah," jelas Erwin kemarin. Meski sudah terbilang cukup terjangkau, namun Eka tetap mengikuti imbauan Kemenkes sesuai SE Nomor HK.02.02/1/2875/2020. Per Rabu (8/7), rumah sakit ini telah menetapkan tarif baru Rp 150 ribu. Di antara modal tersebut, Erwin menyebutkan rumah sakitnya menggunakan bahan baku impor dari Prancis. Sehingga harga bahan baku yang didapat berkisar Rp 78-80 ribu tergantung nilai dolar. Jawa Pos juga menelusuri beberapa rumah sakit yang menyediakan layanan rapid tes. Salah satunya adalah RS Hermina Daan Mogot Jakarta Barat. Wartawan koran ini sebagaimana masyarakat umum menghubungi nomor rumah sakit dan berbicara dengan customer service. Pihak CS memberikan penjelasan yang cukup lengkap. Di antaranya, RS Hermina Daan Mogot menyediakan layanan rapid tes 24 jam setiap hari. Hasilnya akan diketahui dalam waktu 2-3 jam. Ketika disinggung mengenai biaya, pihak CS juga memberikan keterangan yang jelas. ’’Biayanya kena Rp 150 ribu untuk rapid test,’’ terangnya. Bila disertai dengan surat keterangan, ada biaya tambahan Rp 50 ribu. Jawa Pos juga mengecek rumah sakit lain. yakni RS Medika BSD di Serpong, Kota Tangsel. Website resmi rumah sakit tersebut saat dicek pukul 19.00 tadi malam mencantumkan biaya rapid test sebesar Rp 350 ribu. Disertai dengan jam layanan pemeriksaan di hari kerja dan akhir pekan. Ada yang mematuhi, ada juga yang memprotes kebijakan ini. Diantaranya disampaikan oleh Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin). Ketua Umum Asklin Dr Eddi Junaidi SpOG SH Mkes mengatakan mereka bersiap menyurati Kemenkes. Eddi mengatakan ada sekitar seribu klinik yang tercatat tergabung di Asklin. Dia menjelaskan surat yang akan dikirim isinya mempertanyakan kok bisa Kemenkes membuat patokan harga maksimal rapid test Rp 150 ribu. Keputusan ini tentu dapat memberatkan klinik atau fasilitas kesehatan lainnya. Dia mencontohkan banyak klinik atau RS yang sudah membeli rapid test dalam jumlah besar dan dengan harga lebih dari Rp 100 ribu. ’’Saya contohnya sudah beli rapid test untuk 200 pemeriksaan. Harga alatnya Rp 200 ribu,’’ katanya kemarin. Lantas jika sekarang dipaksa untuk mematok harga Rp 150 ribu, tentu tidak masuk akal. Eddi juga mencontohkan untuk kondisi di Indonesia bagian timur seperti di Papua. Pembatasan harga rapid test Rp 150 ribu, dia nilai dapat memberatkan. Sebab fasilitas kesehatan masih harus menanggung biaya pengiriman. Selain itu dia mengatakan pengecekan rapid test juga melibatkan dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dia mengusulkan supaya Kemenkes membuat kebijakan lebih masuk akal. Misalnya cukup memberikan harga acuan berdasarkan alat rapid test yang dibeli. ’’Misalnya tidak boleh melebihi seratur persen dari harga rapid test,’’ jelasnya. Eddi menegaskan di lapangan jenis alat rapid test beragam. Pemerintah sebaiknya bijak untuk memberikan keleluasan bagi masyarakat untuk memilih jenis rapid test. Eddi mencontohkan ketika masyarakat memilih menggunakan rapid test dengan harga pokok Rp 200 ribu/unit, maka harga tertinggi Rp 400 ribu. Harga ini sudah komplit dengan surat kesehatan yang dikeluarkan oleh dokter. Adanya pembatasan harga rapid test Rp 150 ribu, dikhawatirkan mengarahkan fasilitas kesehatan untuk membeli alat rapid test yang murah. Misalnya yang harganya sekitar Rp 75 ribu/unit. Cara seperti ini menurut dia tidak bijak. Sebaiknya masyarakat dan rumah sakit diberikan keleluasan untuk memilih alat rapid test. ’’Yang penting juga fasilitas kesehatannya transparan,’’ katanya. Dia juga mengatakan kecenderungan saat ini penggunaan rapid test bukan murni terkait indikasi medis. Penggunannya lebih seperti medical check up (MCU). Seperti saat akan naik pesawat, permintaan kantor, dan sejenisnya. (jpg)
Sumber: