Akademisi: RUU Ciptaker Bukan Karpet Merah untuk TKA
Dosen Universitas Padjajaran Bandung, Rully Chairul Anwar, menepis penilaian Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker) yang disinyalir hanya untuk mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. Menurutnya, RUU Ciptaker memang mempermudah birokrasi perizinan TKA. Tetapi hanya untuk sektor dengan skill tertentu yang benar-benar dibutuhkan, karena tenaga kerja dalam negeri belum ada atau belum memiliki tingkat keahlian sesuai kebutuhan. “RUU Ciptaker bukan karpet merah untuk para tenaga kerja asing. Hanya untuk mempermudah birokrasi para TKA dengan skill tertentu dan bukan untuk semua TKA,” kata Rully, Senin (20/4/2020). Menurut Rully, pasal yang dicurigai sebagai karpet merah TKA adalah ketentuan Pasal 89 RUU Ciptaker yang mengubah atau menghapus beberapa ketentuan dalam UU/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan aturan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi invasi TKA, sehingga Indonesia dibanjiri pekerja asing yang menggusur posisi pekerja Indonesia. ‘’Kalau kita cermati secara mendalam, kekhawatiran itu sebenarnya tidak perlu muncul. Karena aturan terkait TKA ke Indonesia tetap tidak berubah. Beberapa peraturan di bawah UU yang mengatur soal mekanisme perizinan masuk bagi tenaga kerja asing tetap berlaku,’’ katanya aktivis Forum Kajian Informasi dan Literasi Sosial Budaya Unpad itu. Selain kemudahan aturan masuk bagi TKA hanya bagi profesi dengan keahlian atau skill tertentu, ada kewajiban bagi pemberi kerja TKA menunjuk tenaga kerja Indonesia (TKI). Fungsinya agar TKI menjadi tenaga pendamping TKA yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian. Rully juga menjelaskan, dalam praktik industri atau lapangan kerja, kerap ditemukan kendala teknis yang hanya bisa ditangani oleh orang yang memiliki keahlian khusus. Sayangnya, tenaga dengan keahlian khusus itu bukan tenaga kerja Indonesia. Atau tenaga ahli dari Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya. Apabila mesin di pabrik mengalami masalah, untuk mendatangkan ahli yang memang paham kepengurusannya bisa mencapai berbulan-bulan. Sementara produksi tidak boleh berhenti. Karena mesin mati, otomatis pabrik tidak bekerja dan dapat menyebabkan kerugian besar. “Kalau regulasi itu tidak diubah, akan sulit mengharapkan investasi cepat masuk. Sebab belum apa-apa calon investor sudah dihadapkan pada birokrasi panjang untuk mendatangkan ahli dari negara luar, yang paham teknis operasional mesin tertentu,” paparnya. Rully menyatakan, kemudahan persyaratan dan mekanisme perizinan TKA hanya berlaku bagi sektor-sektor dengan keahlian tertentu dan tidak untuk semua lahan pekerjaan. Bagaimana dengan industri start-up yang digadang-gadang dapat memberikan peluang bagi generasi milenial untuk mendapatkan pekerjaan di masa depan? Beberapa pihak khawatir RUU Ciptaker akan mengakhiri mimpi para milenal untuk mendapatkan pekerjaan mudah. Pasal 89 RUU Ciptaker mengecualikan perusahaan start-up dari mekanisme perizinan TKA. Dengan aturan baru tersebut, perusahaan-perusahaan start-up tidak akan diisi oleh generasi milenial Indonesia tetapi TKA dari Filipina, India, Thailand atau negara lainnya. Menurut Rully, perusahaan start-up masih dikecualikan karena SDM atau tenaga kerja Indonesia yang menguasai teknologinya secara spesifik belum cukup banyak. Atau ada beberapa posisi strategis yang hanya dapat diisi oleh orang dari negaranya karena menyangkut kerahasiaan. Dalam hal ini, perlu ada kebijakan penyederhanaan birokrasi yang mempermudah para ekspatriat di bidang start-up untuk dapat bekerja. “Di semua perusahaan pemberi kerja TKA, termasuk start-up, ada kewajiban bagi mereka menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga pendamping TKA. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 89 ayat 4 RUU Ciptaker,” kata Rully lagi. Pemberi kerja kepada TKA juga wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, sebagaimana sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA. Sehingga dengan demikian pada saat TKI dirasa sudah memahami teknologi dan skill spesifik yang diperlukan, maka TKA-TKA tersebut digantikan oleh TKI. Dikatakan Rully, RUU Ciptaker bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7 sampai dengan 3 juta per tahun. ‘’Lapangan kerja itu tentunya disediakan untuk masyarakat Indonesia, bukan warga asing. Caranya adalah mempermudah regulasi bagi investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Kalaupun ada TKA yang kerja di Indonesia karena RUU ini, itu hanya sebagian kecil saja dan untuk teknologi serta skill spesifik,” katanya.
Sumber: