Dunia Bersatu Membuat Vaksin Covid-19
JAKARTA-Covid-19 pada dasarnya tidak begitu berbeda dengan penyakit flu lainnya. Masyarakat sejak lama sudah punya penangkalnya. Yakni, lewat imunitas tubuh yang kuat. Meskipun demikian, para ahli virus dunia saat ini sedang berhimpun untuk membuat penangkalnya. Bermodalkan sampel dari kasus-kasus yang sudah ada. Hal itu disampaikan juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto di Bina Graha kompleks Istana Kepresidenan Jakarta kemarin (5/3). Dia menjelaskan, WHO sudah membuat semacam komunitas bagi para ahli virologi dari berbagai negara untuk memecahkan persoalan Covid-19. Mengingat penyakit tersebut adalah fenomena global. Beberapa negara, tuturnya, sudah menemukan sejumlah sampel dan diujicobakan secara lokal. Khususnya di Tiongkok. ’’Karena sampelnya banyak dan memberikan gambaran yang bagus,’’ terangnya. Namun, gambaran itu belum bisa menjadi standar baku dunia. Hasil dari uji cob aitu harus dibawa ke forum ahli di WHO untuk dibicarakan lebih lanjut. Menurut Yuri, panggilan Achmad Yurianto, ahli virologi kita baik di Surabaya maupun Jakarta dan daerah lain sudah tergabung dalam komunitas itu. ’’Tidak mungkin Indonesia akan mengembangkan sendiri. Sementara sampel yang kita miliki baru dua,’’ lanjutnya. Dengan kondisi tersebut, maka hingga saat ini secara resmi WHO dan dunia belum menemukan obat yang spesifik untuk virus SARS-Cov-2. Juga belum menemukan vaksin yang spesifik untuk virus tersebut. Namun, sebagaimana umumnya virus, lawan utamanya bukan obat atau vaksin. Melainkan daya tahan tubuh yang baik. Karena itu, pemerintah tidak mengandalkan vaksin sebagai satu-satunya cara menangkal virus SARS-Cov-2. Justru yang diutamakan adalah self immune. ’’Covid-19 itu juga influenza. Mestinya kita juga menyikapinya seperti itu,’’ tutur sekretaris Ditjen P2P Kemenkes itu. Maka treatment yang dilakukan adalah memperbaiki imunitas pasien. Terbukti, lebih dari 50 persen pasien positif Covid-19 sembuh lewat penguatan self immune. Mengenai kasus 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama Positif Covid-19 di Indonesia, Yuri sudah mendapatkan data selama tiga hari berturut-turut. Kedua pasien sejak datang sampai saat ini tidak pernah menggunakan oksigen karena tidak sesak, ataupun infus karena tidak ada kondisi berat. Saat ini mereka masih batuk yang jarang dan sudah tidak panas. Rencananya, hari kelima sejak masuk RS, yakni hari ini, akan diperiksa ulang virusnya. Bila hasilnya negatif, maka mereka akan diperiksa lagi dua hari kemudian. ’’Manakala hasilnya negatif, maka akan kita pulangkan,’’ ujar Yuri. Itu standar yang digunakan di seluruh untuk menyatakan kesembuhan pasien Covid-19 Metode perbaikan imunitas diterapkan pada kasus pasien 1 dan 2 yang menjadi pasien pertama positif Covid-19 di Indonesia. Keduanya diterapi dengan menggunakan berbagai suplemen yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh. ’’Kita isolasi tujuannya adalah agar tidak menular ke orang lain,’’ terang pria yang sempat berkarier sebagai dokter militer itu. Isolasi bukan bertujuan untuk pengobatan atau treatment. Melainkan hanya mencegah mereka menjadi episentrum baru. Treatment yang dilakukan juga bukan untuk menghilangkan virus. Melainkan, meningkatkan daya tahan tubuh sehingga virus tidak bisa berkembang dan mati dengan sendirinya. Karena virus SARS-Cov-2 hanya bisa berkembang dalam sel hidup orang yang sedang sakit atau ketahanan tubuhnya lemah. Sebagai gambaran, jumlah pasien positif Covid-19 di Tiongkok mencapai lebih dari 90 ribu orang. Hingga saat ini, pertambahan kasus yang positif terus menurun. Dari jumlah itu, sekitar 55 ribu dinyatakan sembuh. ’’Sebagian besar adalah pada bentangan usia 35 sampai 40 tahun,’’ urainya. Artinya, yang sembuh adalah mereka yang sedang dalam usia produktif dan ketahanan tubuhnya baik. Sebaliknya, profil pasien yang meninggal didominasi para lansia berusia 65-75 tahun. ’’Hampir 70 persen memiliki penyakit yang kita sebut kumorbit, penyakit kronis yang diderita sebelum terinfeksi,’’ jelasnya. Seperti penyakit jantung kronis, diabetes, gagal ginjal, dan beberapa penyakit paru yang bisa mempengaruhi daya tahan tubuh yang bersangkutan. Para lansia tersebut tertular saat sedang memiliki penyakit-penyakit itu. Alhasil, mereka cepat tumbang karena kondisi tubuhnya memang sedang tidak baik. Merekalah yang akhirnya dinyatakan meninggal setelah terkena Covid-19. Saat ini, pemerintah maupun dunia sedang fokus pula untuk menghadapi gelombang kedua penularan virus SARS-Cov-2. Di mana penularan di luar Tiongkok berlangsung cepat. Dalam sehari ada 20 negara baru yang melaporkan kasus positif. ’’Ini artinya bahwa penderita dnegan Covid-19 di dalam tubuhnya tidak terdeteksi di pintu masuk negara manapun,’’ ujar Yuri. Deteksi yang dilakukan negara-negara itu mengandalkan thermal scanner dan thermal gun penderita tidak terdeteksi karena gejalanya semakin ringan. Panasnya tidak tinggi, batuknya juga tidak terlalu terlihat, bahkan dalam beberapa temuan ada yang asimtomatis atau tanpa gejala. Itu artinya, virus di dalam tubuh penderita tersebut tidak sempat mereplikasi atau beranak pinak. Kalau virus tersebut bisa beranak pinak, dipastikan orang yang membawanya akan demam. Bila virus tersebut banyak di saluran pernafasan, akan memicu lender dan merangsang batuk. Bila sampai saluran pernafasan bawah, akan memicu gagal nafas atau pneumonia. Yang terjadi saat ini, virus tidak bisa berkembang dengan cepat. ’’Kemungkinan yang paling besar adalah daya tahan tubuhnya bagus atau virusnya semakin melemah,’’ tutur Yuri. Dampaknya, masa inkubasi juga menjadi lebih panjang. Tidak lagi 14 hari. Karena itu, kini seluruh dunia sepakat bahwa observasi terhadap orang yang diduga dalam tubuhnya ada virus dilakukan 2x14 hari. Ahli mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr Fera Ibrahim SpMK (K) menyatakan bahwa penelitian Covid-19 sangat dinamis. Pada gelombang kedua ini, belum diketahui persis kondisi virusnya. Hal ini menyebabkan spektrum gejalannya luas. Bahkan tidak bergejala. Meski demikian, mereka yang positif Covid-19 namun tidak bergejala, jika diuji laboratorium akan menunjukkan virusnya. Pada penelitian yang ada, menurut Fera ditemukan SARS Cov-2 (nama virus Covid-19) pada spesimen yang diteliti. Terutama pada dahak. Secara tak langsung, Fera menyatakan bahwa perlunya pengambilan spesimen meski tak menunjukkan gejala. "Pencegahannya dengan PHBS (pola hidup bersih dan sehat). Sebab infeksi tak hanya dari Corona," tuturnya. PHBS yang dimaksud Fera antara lain cuci tangan dengan sabun pakai air mengalir, makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan berolahraga. Selain itu juga menutup dengan tisu atau siku bagian dalam saat batuk serta bersin. (jpg)
Sumber: