Buruh Geruduk Kemenkes Tolak Iuran BPJS

Buruh Geruduk Kemenkes Tolak Iuran BPJS

JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, pada Kamis (6/2). Aksi ini karena para buruh menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Aksi dimulai sekitar pukul 11.11 WIB yang diawali dengan orasi dari Wakil Presiden FSPMI Iswan Abdullah. Aksi tersebut untuk menyuarakan penolakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang secara resmi naik per 1 Januari 2020. Iswan menyampaikan ada lima alasan mengapa pihaknya menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pertama, kenaikan iuran akan membuat daya beli masyarakat jatuh. Sebagai contoh, bagi peserta kelas III yang naik dari Rp25 ribu menjadi Rp42 ribu, apabila dalam satu keluarga terdiri dari 5 orang maka dalam sebulan mereka harus membayar Rp210 ribu. Dia menyebut bagi warga Jakarta dengan standar upah minimum atau penghasilan sebesar Rp4,2 juta, mungkin tidak memberatkan. Tetapi dibandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di kisaran Rp1 juta, mereka pasti akan kesulitan untuk membayar iuran tersebut. "Negara kita alami kesulitan, daya beli turun, himpitan hidup rakyat miskin sangat berat. Ketika lagi sulit pemerintah memaksa kenaikan iuran. Ini akan membuat mereka makin miskin," ujar Iswan. Kedua, BPJS Kesehatan adalah jaminan kesehatan dengan hukum publik. BPJS Kesehatan bukan PT atau BUMN yang mencari keuntungan. Apabila, mengalami kerugian, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menutup kerugian tersebut. "Tugas BPJS memberikan kepastian pada rakyat mendapatkan layanan kesehatan. Kalau defisit itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Jangan seenaknya menaikkan iuran. Ketika defisit negara wajib menalanginya," katanya. Ketiga, setiap tahun, iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan buruh selalu ada kenaikan. Sebagaimana diketahui, iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya 5 persen dari upah, dimana 4 persen dibayarkan pengusaha dan 1 persen dibayarkan buruh. Ketika setiap tahun upah mengalami kenaikan, setiap tahun iuran BPJS juga mengalami kenaikan. Keempat, akan terjadi migrasi kepesertaan dari kelas I ke kelas II atau III. Apalagi, jika kemudian berpindah ke asuransi kesehatan swasta dan tidak lagi bersedia membayar iuran BPJS Kesehatan. Padahal, dalam mandatnya, tahun 2019 ini seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali sudah harus menjadi peserta BPJS Kesehatan. Kelima, rakyat tidak mampu lagi membayar iuran BPJS Kesehatan. Ketika iuran semakin memberatkan dan akhirnya rakyat tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan. Selain menyampaikan alasan penolakan, FSPMI juga menyampaikan solusi dalam menghadapi defisit BPJS Kesehatan. Solusi yang ditawarkan antara lain, memastikan 55,272 juta pekerja formal menjadi peserta PPU BPJS Kesehatan. Menurut Iswan, potensi iuran dari total pekerja formal tersebut bisa mencapai Rp93,85 trililun. Kemudian, kata Iswan, pemerintah bisa mengalokasikan penerimaan negara dari cukai rokok senilai Rp125,02 triliun untuk BPJS. "Solusi ketiga, pemerintah bisa mengoptimalisasi dana CSR yang nilainya 3 persen dari keuntungan dari seluruh perusahaan se-Indonesia," katanya.(bis)

Sumber: