Amnesty International Peringati Hari HAM Sedunia, Ribuan Surat Dikirim ke Seskab

Amnesty International Peringati Hari HAM Sedunia, Ribuan Surat Dikirim ke Seskab

Jakarta -- Amnesty International Indonesia mengirim ribuan kartu pos dan surat berisi berbagai curahan masyarakat dari seluruh wilayah Indonesia mengenai berbagai kasus pelanggaran HAM kepada Sekretariat Kabinet. Kartu pos dan surat berisi pengalaman dugaan pelanggaran HAM yang dirasakan langsung masyarakat maupun kasus lain yang dinilai perlu lekas dituntaskan pemerintah. Salah satu isu terbanyak yang ditulis melalui surat adalah soal pengungkapan kasus Novel Baswedan. Manajer Komunikasi Amnesty Internasional Sadika Hamid mengatakan sedikitnya ada 5.000 kartu pos dan surat. Semuanya dikumpulkan menjadi satu dan dikirim ke Sekretariat Kabinet Negara pada hari ini, Selasa (10/12). "Kehendak publik agar negara bertindak tegas atas kasus HAM yang tercermin di kartus pos tersebut. Kartu itu digalang dalam kampanye bertajuk Aksi Penyerahan Pesan Perubahan (PENA), pesan perubahan," kata Sadika ditemui usai bertemu dengan perwakilan dari Sekretariat Kabinet Negara, Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (10/12). Rata-rata isi surat itu, kata Sadika, berisi keinginan publik agar negara bertindak tegas atas kasus-kasus HAM. Terutama yang ditulis dalam kartu pos dan surat. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menyebut ada delapan fokus seruan yang diminta publik untuk segera diselesaikan dari ribuan kartu pos dan surat yang dikirim. Pertama, sebanyak 869 surat dan kartu pos berisi permintaan dan desakan agar RUU penghapusan kekerasan seksual segera disahkan. Kedua, 705 surat dan kartu pos mendesak agar pemerintah menuntaskan dan menangkap pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Ketiga, sebanyak 715 kartu pos dan surat meminta kekerasan yang terjadi di Papua segera diakhiri. Keempat, yakni 697 surat meminta aturan diskriminatif berbasis agama segera dicabut. Kelima, sebanyak 563 surat dan kartu pos meminta penghapusan impunitas termasuk di dalamnya menyelesaikan kasus orang hilang. Keenam, sebanyak 593 surat dan kartu pos meminta agar pemerintah memastikan tidak ada larangan kerja paksa di sektor perkebunan kelapa sawit. "Ketujuh ada 492 surat dan kartu pos yang mendesak pelarangan diskriminatif gender, serta kedelapan ada 308 surat yang meminta hukuman kejam seperti hukuman mati dicabut," kata Usman Hamid. Usman mengatakan saat ini publik masih banyak yang percaya bahwa negara mau mendengar keinginan mereka. Hal tersebut bisa dilihat dari sikap masyarakat yang masih mau mengirim kartu pos dan surat kepada Sekretariat Kabinet. "Bahwa mereka percaya pada kapasitas mereka sendiri untuk mendasar perubahan dan pemerintah akan mau mendengar. Harusnya pemerintah menyambut antusiasme ini dengan tindakan nyata, agar kepercayaan masyarakat khususnya korban tidak semakin turun," kata Usman. Deputi Seskab Bidang Polhukam Fadlansyah Lubis akan mengecek semua surat yang telah diterima. Dia mengaku bakal meneruskan semua kartu pos dan surat itu Kementerian Bidang Politik Hukum dan Keamanan. "Kita akan teruskan, akan teruskan apa yang disampaikan teman-teman ini kepada instansi terkait, khususnya dalam hal ini Menko Polhukam. Nanti kita akan inventarisir, poin-poinnya nanti kita serahkan ke Menko Polhukam. Kira-kira itu," kata Fadlansyah. Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyebut penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia berjalan lamban disebabkan oleh proses pengambilan keputusan yang tak lagi tersentralisasi. "Sekarang kekuasaan sudah terbagi, tidak seperti Orde Baru, sekarang semuanya ikut menentukan (penyelesaian kasus HAM). Demokrasi dan penentuan keputusan tidak pernah bertemu, makanya lambat. Ada yang sudah selesai tapi sedikit sekali," kata Mahfud saat berpidato dalam acara Peringatan HAM Sedunia di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Selasa (10/12) seperti dilansir Antara. Menurutnya hal tersebut merupakan konsekuensi daripada peningkatan kualitas demokrasi sejak era reformasi. Meski demikian, ia menyebut mekanisme penyelesaian HAM saat ini sudah terlembaga. Mahfud menerangkan ada sebanyak 12 kasus HAM peninggalan masa lalu yang masih belum menemukan titik temu. Namun ia pastikan di era pascareformasi ini HAM lebih terjamin karena penegakannya tidak hanya dalam bidang hukum. Meski demikian, ia tidak menampik pelanggaran HAM masih terjadi saat ini. Namun bentuk pelanggaran HAM yang terjadi sudah tidak sistematis seperti yang terjadi pada masa lalu saat era Orde Baru. Saat ini, menurutnya kasus HAM yang terjadi kerap melibatkan konflik horizontal. Berbeda dengan kasus HAM masa lalu yang bersifat vertikal akibat sistem otoriter.(cnn)

Sumber: