Netralitas ASN Jadi Fokus Pengawasan, Bawaslu Sah Sebagai Pengawas Pilkada

Netralitas ASN Jadi Fokus Pengawasan, Bawaslu Sah Sebagai Pengawas Pilkada

SERANG-Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap masih menjadi fokus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada perhelatan pilkada serentak 2020 mendatang. Bukan hanya netralitas pegawai pemerintahan, Bawaslu juga memfokuskan diri terhadap pengawasan politik uang dan ujaran kebencian. Diketahui, terdapat empat kabupaten/kota di Banten yang akan menyelenggarakan pilkada. Yakni, Kota Cilegon, Kota Tangsel, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Secara nasional, tercatat 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak pada 2020 mendatang. Komisioner Bawaslu RI Fritz Edward Siregar mengatakan, setidaknya terdapat tiga segmentasi yang masih menjadi fokus pengawasan Bawaslu pada pilkada serentak yaitu, netralitas ASN, TNI dan Polri, poltik uang dan ujaran kebencian. “Kita melihat dari beberapa indeks kerawan pemilu (IKP) yang lalu, dugaan tidak netralnya ASN, TNI dan Polri, poltik uang dan hoaks masih mendominasi pelanggaran pidana pemilu pada pemilu 2020,” kata Fritz saat ditemui usai menjadi narasumber pada acara eksaminasi Undang-undang Pemilu di Hotel Grand Krakatau, Cipocok Jaya, Kota Serang, Senin (25/11). Saat ditanya IKP untuk pilkada 2020 mendatang, Fritz mengaku belum bisa menyebut apa saja yang menjadi indikator kerawanan pilkada. Ia beralasan, dalam menentukan IKP harus melakukan survei ke lapangan. “Saya belum bisa banyak omong. Karena kita harus melihat data dari daerah. Kita harus turun ke lapangan, interview (wawancara), lalu dikompilasi mana (daerah) yang indeks (kerawanan) tinggi. Tapi yang jelas IKP akan kita luncurkan pada Januari mendatang,” jelasnya. Lebih lanjut, Fritz mengungkapkan, yang menjadi tantangan pada pilkada 2020 datang dari dua peraturan perundang-undangan yang dinilai saling berbenturan. Kedua aturan itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). “Tantangan terdapat pada kelembagaan Bawaslu, penegakan hukum dan tugas wewenang serta kewajiban Bawaslu,” ujarnya. Ia menjelaskan, terdapat sejumlah perbedaan yang tertuang dalam dua aturan soal pemilihan tersebut. Terkait penegakan hukum misalnya, waktu penanganan pelanggaran memiliki versi yang berbeda. Dalam undang-undang tentang pemilu total ada 21 hari, sementara di undang-undang tentang Pilkada hanya lima hari. “Penjelasan harinya juga berbeda, untuk pemilu itu hari kerja sesuai pasal 1 angka 28. Sementara untuk pilkada itu hari kalender sesuai putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 105/PUU-XIII/2015 dan Nomor 31/PUU-XVI/2018,” jelasnya. Sorotan lainnya, kata dia, terjadi pada nomenklatur pengawas pemilihan juga terdapat perbedaan. Pada undang-undang tentang Pemilu pengawasan terdiri atas bawaslu, bawaslu provinsi, bawaslu kabupaten/kota, panitia pengawas pemilu (Panwaslu) kecamatan, panwaslu kelurahan/desa, panwaslu luar negeri (LN) dan pengawasa TPS. Itu tercantum dalam pasal 89 ayat 2. Lalu pada undang-undang tentang pilkada pengawasan dilaksanakan oleh bawaslu, bawaslu provinsi, panwaslu kabupaten/kota, panwaslu kecamatan, panitia pengawas lapangan (PPL) dan pengawas TPS. Amanat itu terdapat pada 23 ayat 1. “Persoalannya kalau panwas itu bersifat ad hoc. Sedangkan saat ini yang terbentuk adalah bawaslu kabupaten/kota (bertugas) selama lima tahun. Jumlah keanggotaan pada undang-undang pemilu, bawaslu kabupaten/kota sebanyak tiga atau lima. Tapi pada undang-undang pilkada panwas kabupaten/kota berjumlah tiga orang,” ujarnya. Jika mengacu pada hal itu, maka muncul pertanyaan apakah bawaslu kabupaten/kota bisa melakukan fungsi pengawasan untuk pilkada atau tidak. Fritz menegaskan, mereka tetap bisa bertugas. Ada beberapa argumen yang disampaikannya. Pertama adalah amanat pasal 565 undang-undang tentang Pemilu. Di sana dinyatakan bawaslu kabupaten/kota hasil Undang-Undang 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dapat ditetapkan sebagai Bawaslu sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, tidak ada mengatur bawaslu kabuapten/kota. Mengatur panwas kabupaten/kota, tapi undang-undang langsung menerjemahkan bahwa bawaslu sebagaimana dimaksud undang-undang 15 adalah panwas,” katanya. Alasan kedua adalah berkaitan dengan Peraturan KPU tentang pencalonan dan tahapan pilkada 2020. Kedua Peraturan KPU telah mengatakan bahwa panwas sebagaimana yang dimaksud adalah bawaslu kabuapten/kota. Melihat paraturan KPU, undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, konsep mengenai bawaslu kabupaten/kota sudah tegas sebagai lembaga untuk mengawasi pemilu untuk tingkat kabupaten/kota. “Kemudian soal sejarah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 mengenai Panwas, itu berkaitan dengan lembaga untuk dibentuk melakukan pengawasan pilkada untuk pemilu. Karena di tahun itu (2011-red) konsep pemilu dan pilkada adalah satu. Sehingga penyelenggara (pengawasan) satu, bawalsu kabupaten/kota,” katanya. Disinggung apakah seharusnya undang-undang soal pilkada dan pemilu dilebur menjadi satu agar tak terjadi perbedaan perlakuan, Fritz menyatakan tidak perlu. Menurutnya, hal itu sesuai dengan semangat pemerintah terkait omnibus law. Terlebih, undang-undang soal pemilu menjadi prioritas yang akan dibahas DPR RI pada 2020 mendatang. “Maka baik itu revisi undang-undang pilkada atau revisi undang-undang pemilu digabung menjadi satu itu dapat menjadi undang-undang kodefikasi. Itu yang dapat kita butuhkan sehingga pelaksanaan pemilihan dan pemilu itu dapat sama,” katanya. Sementara, Ketua Bawaslu Provinsi Banten Didih M Sudi mengaku, dalam meminimalisir pelanggaran, pihaknya secara rutin terus melakukan sosialisasi, koordinasi dan monitoring pengawasan pilkada. Ia juga akan menggandeng Pemprov Banten, dan pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan sosialisasi. “Kita akan melakukan roadshow dengan menggandeng pemerintah daerah. Karena ASN ini semakin keras dan berhubungan dengan Komite Aparatus Sipil Negara (KASN). Kalau bawaslu kan memberikan rekomendasi, tapi kembali eksekusinya pemerintah daerah dan akan kita kawal juga,” ujar Didih. Terkait IKP pada pilkada 2020, Didih mengaku akan menunggu keputusan Bawaslu RI. “Itu akan diluncurkan pada 2020, jadi saya nggak bisa bicara nunggu launching. Tapi berkaca dari pilkada 2017, 2018 dan 2019 IKP Banten fluktuatif. Dari sebelumnya masuk lima besar pada 2017, kini 2019 semua daerah di Banten tidak masuk 10 besar. Kecuali Tangsel, itu versi polisi tapi versi Bawaslu nggak. Dan apapun hasilnya, indeks ini untuk antisipasi, dan kita harap sih tidak terjadi,” jelasnya. (tb)

Sumber: