Potensi Kecurangan di Faskes Masing Tinggi

Potensi Kecurangan di Faskes Masing Tinggi

Pekerjaan rumah untuk membenahi BPJS Kesehatan masih banyak. Menaikkan iuran yang tidak dapat dijangkau sebagian masyarakat harus dipikirkan. Subsidi untuk iuran peserta miskin dari golongan peserta bukan penerima upah (PBPU) dianggap hanya solusi singkat. Sekretaris Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menyatakan bahwa seharusnya ada pembenahan dalam administrasi kepesertaan BPJS Kesehatan. Alasaannya, ada potensi ganda dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Pemerintah harus mengaudit hal ini. Berdasar data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), potensi data ganda mencapai 27,4 juta orang. ’’Pemerintah harus lakukan cleansing data. Dari dulu DPR sudah bicara, tetapi proses ini tidak selesai juga,” tegasnya. Pihaknya meminta BPJS melakukan penelusuran pendataan secara serius. Sebab data ganda cukup berdampak pada besaran dana kapitasi yang rutin dibayar pemerintah ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Dana kapitasi untuk puskesmas milik pemerintah sebesar Rp 6 ribu/orang/bulan. Adapun biaya kerjasama dengan klinik swasta mencapai Rp 10 ribu/orang /bulan. Nah jika dikali 27,4 juta data ganda, maka potensi kebocoran mencapai Rp 164,4 miliar hingga Rp 274 miliar per bulan. ’’Nilai itu kan lumayan bisa kita hemat," ujar Saleh. Langkah kedua, tambah dia, dengan memangkas potensi kecurangan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Baik oleh pihak rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) maupun masyarakat sebagai peserta. ’’Fraud (kecurangan, Red) ada di semua sisi, padahal prinsip BPJS kan gotong-royong,” tandasnya. Kecurangan oleh faskes, misalnya. Pelayanan yang diberikan ke pasien hanya berupa satu diagnosa penyakit saja. Namun dalam klaim laporannya, lebih dari satu diagnosa. Atau pemberian obat ke pasien dimanipulasi. Ini menyebabkan biaya yang harus dibayar pemerintah ke faskes menjadi membengkak. ’’Yang seperti ini apakah pemerintah dan BPJS tahu, mereka tahu kok. Karena ini juga pernah diungkap saat rapat dengan DPR,” paparnya. Kritik serupa juga disampaikan anggota Fraksi PKS Netty Prasetiyani. Ia menilai, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sampai 100 persen adalah cermin pemerintah yang malas mencari solusi alternatif. ’’Pemerintah seperti mencari jalan pintas,” katanya. Dia bilang, menaikkan iuran BPJS tanpa diikuti pembenahan dan verifikasi data kepesertaan tidak akan banyak berarti. Selama 10 tahun menjadi ketua tim penggerak PKK Provinsi Jawa Barat (Jabar), Netty banyak menerima pengaduan. Banyak rakyat yang tidak bisa mendapat pelayanan BPJS Kesehatan dengan baik. Di sisi lain, terkait usulan subsidi iuran BPJS Kesehatan yang diusulkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mendapatkan dukungan dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea menyebut bahwa dukungan tersebut muncul karena untuk mengurangi beban pengeluaran masyarakat.  ”Itu kemauan dan keinginan kita semua,” katanya. Jika dikabulkan, maka iuran kelas III untuk kelas PBPU tetap Rp 25.500. Menurut Perpres Nomor 75 Tahun 2019, iuran peserta mandiri BPJS kelas III naik menjadi Rp 42.000. Subsidi yang diberikan pemerintah hanya Rp 16.500. Menanggapi usulan subsidi ini Menko PMK Muhadjir Effendy menuturkan akan membicarakan bersama kementerian dan lembaga terkait. Dia menjelaskan bahwa pemerintah juga memiliki keterbatasan anggaran. Sehingga tidak bisa gegabah dalam memberikan keputusan. ”Kami belum ada kesepakatan bahwa nanti (subsidi, Red) akan dipenuhi. Belum ada ketetapan,” ungkapnya. Cleansing data menurutnya menjadi kunci. Sebab ada enam juta penerima PBI yang akan ditinjau ulang. Sebab identitasnya tidak dikenali. Rencananya jumlah tersebut akan diganti oleh peserta yang lain. Hal ini memungkinkan peserta kelas III dari golongan lain yang termasuk miskin bisa masuk. ”Diganti dengan yang teridentifikasi dengan baik kemudian kalau mereka ini bekum punya NIK akan kami pastikan,” ujarnya. Dia pun meyakinkan bahwa pemerintah mengupayakan peserta BPJS Kesehatan dapat pelayanan terbaik. (jpg)

Sumber: