Jokowi Kejar Pembuat Desa Fiktif
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menegaskan akan mengejar siapapun pelaku atau oknum hingga tertangkap terkait dugaan adanya desa fiktif yang dibentuk untuk memperoleh kucuran dana desa. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan memang tidak mudah mengelola begitu banyak desa di Indonesia. “Tapi tetap kita kejar agar yang namanya desa-desa tadi yang diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, ketangkep,” kata Presiden setelah acara Peresmian Pembukaan Konstruksi Indonesia 2019 di JI Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11). Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara yang besar dengan 514 kabupaten/kota dan 74.800 desa perlu manajemen untuk mengelola yang tidak mudah. Menurut dia, perlu ada penelusuran terkait informasi adanya desa siluman yang dimaksud. “Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah. Tetapi kalau informasi benar ada desa siluman itu, misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya nggak ada, bisa saja terjadi karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote sebuah pengelolaan yang tidak mudah,” katanya. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, pihaknya telah menurunkan tim gabungan untuk mengecek isu empat desa fiktif di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang selama ini diduga menikmati uang dari program dana desa. Tito menyebut, tim itu terdiri dari Pemprov dan Polda Sulawesi Tenggara. "Sudah, tim kita sudah bergerak ke sana bersama pemerintah provinsi dan ada empat (desa) ya, bersama dengan kapolda Sultra" kata Tito kepada Wartawan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (6/11). Tito menuturkan, selama ini mekanisme yang dilakukan adalah menyerahkan sepenuhnya kepada provinsi untuk menangani persoalan tersebut. Sebab, kata dia, Kemendagri tidak memiliki personel untuk mengecek langsung ke lapangan. "Kita tidak memiliki tangan langsung dari Mendagri yang harus mengecek 70 ribu desa di Indonesia. Jadi, kita sudah membentuk tim bekerja sama provinsi, tim gabungan bergabung dengan Polda Sultra," ungkap dia. Ia menjelaskan, setelah tim gabungan tersebut melakukan pengecekan, bila memang terbukti desa itu fiktif, selanjutnya akan dilakukan proses hukum. "Kalau itu fiktif dan ada anggaran dipakai padahal enggak ada desanya proses hukum intinya tindak pidana korupsi. Kalau nanti ada pemalsuan KTP, segala macam fiktif, dikenakan tindak pidana pemalsuan," jelasnya. Mantan kapolri tersebut juga mengaku telah meminta kapolda Sultra untuk menindak para pelaku desa fiktif jika memang terbukti bersalah. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, juga memerintahkan para pendamping desa untuk melakukan verifikasi ke lapangan soal adanya 'desa fiktif'. Namun, ia meminta untuk dimaklumi terkait jalannya proses tersebut karena jumlah pendamping desa yang hanya setengah dari jumlah total desa di Indonesia. "Kita minta para pendamping desa melakukan verifikasi apa benar di wilayahnya, di sekitarnya ada fakta-fakta seperti itu. Nah, nanti kita akan foooting ke Kemenkeu, ke Kemendagri, untuk bahan tambahan dan menjadi bagian dari evaluasi," ujar Abdul di Kemendes PDTT, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (5/10). Dalam proses verifikasi itu, peran pendamping desa menjadi penting. Namun, kondisi yang ada saat ini, jumlah pendamping desa hanya setengah dari jumlah total desa yang ada di Indonesia. Menurut Abdul, jumlah desa di Indonesia ada sekitar 74 ribu desa, sedangkan jumlah pendamping desa hanya 37 ribu. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai verifikasi yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atas pengalokasian dana desa lemah. Menurut dia, fenomena desa fiktif muncul karena Kemenkeu tetap melakukan transfer dana desa tanpa memeriksa laporan realisasi penggunaan dana desa. "Bayangkan transfer duit tapi hitungannya bagaimana enggak tahu, ternyata desanya desa bodong, desa hantu, atau apapun namanya. Ini berarti soal verifikasi kita lemah sekali," ujar Robert saat dihubungi, Rabu (6/11). Robert menuturkan, jika Kemenkeu selama ini menyalurkan dana desa melalui kabupaten/kota, berarti laporan realisasi memang sudah diterima. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, bagaimana dana desa itu dialokasikan kepada desa yang kemudian disebut Menkeu sebagai desa fiktif karena tidak ada penduduknya. Dana desa disalurkan pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD). Kemudian dana desa disalurkan ke desa melalui pemerintah kabupaten/kota dengan cara pemindahbukuan dari RKUD ke rekening kas desa. Menurut Robert, selain pemerintah pusat harus melakukan verifikasi ke desa yang bersangkutan, pemerintah juga perlu mengecek pemerintah kabupaten/kota yang menjadi perantara penyaluran dana desa. Upaya ini dilakukan untuk memastikan dana desa disalurkan tepat sasaran. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kemunculan desa-desa baru sebagai imbas adanya kucuran dana desa. Sri Mulyani di depan anggota Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11), mengungkapkan ada laporan banyak desa baru tak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapat kucuran dana desa secara rutin tiap tahun."Kami mendengar beberapa masukan karena adanya transfer ajeg dari APBN sehingga sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada penduduknya, hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani. Keberadaan aliran uang dana desa yang rutin dikucurkan tersebut, menurut Sri Mulyani, membuat pihak-pihak tidak bertanggung jawab memanfaatkan momentum dengan membentuk desa baru.(rep)
Sumber: