19 Tahun Banten: Pengangguran Masih Tinggi, Belum Bisa Menjawab Tantangan Industri
SERANG – Dalam hitungan hari, Provinsi Banten akan berusia 19 tahun. Masih menyimpan masalah, khususnya pengangguran. Hal itu terungkap dalam diskusi publik 19 Tahun Provinsi Banten ‘Sebuah Catatan Sejarah, Cita-cita dan Realitas’ yang diselenggarakan Fraksi PDIP DPRD Banten di Aula Serba Guna DPRD Banten, KP3B, Kota Serang, Rabu (2/10). Ketua Fraksi PDIP DPRD Banten, Muhlis mengatakan, angka pengangguran di Banten masih tertinggi. Di atas rata-rata angka pengangguran nasional. “Pengangguran kita itu di angka 8 persen atau masih di atas angka nasional yaitu 5,6 persen,” katanya kepada wartawan. Muhlis menjelaskan setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka pengangguran di Banten. Salah satunya adalah, dunia pendidikan di Banten belum bisa menjawab tantangan industri. “Dan ini juga bagian dari kritik untuk DPRD dan Pemprov Banten untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Banten. Bahkan tadi saya sudah paparkan, dari hasil kunjungan kami ke salah satu SMK di luar Banten terungkap, jika lulusannya itu sudah ditunggu perusahaan-perusahaan di Banten,” jelasnya. Ia juga menilai, di umur ke-19 tahun, masih banyak masalah-masalah yang harus dibenahi di Provinsi Banten. “Kawan-kawan media juga sudah bisa membaca antara cita-cita pendirian Provinsi Banten dengan realitas yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, nanti hasil diskusi ini akan kita kaji di tingkat fraksi. Untuk kemudian akan dibahas di komisi-komisi. Dan nanti akan kita rekomendasikan kepada Pemprov Banten,” ujarnya. Lebih lanjut, Muhlis mengaku jika Fraksi PDIP telah mencanangkan satu hari dalam satu pekan menjadi hari aspirasi. “Kita canangkan hari Selasa sebagai hari aspirasi. Kita juga akan menugaskan setiap anggota untuk bisa menerima aspirasi dari masyarakat,” katanya. Sementara, sejarawan Banten, Bonnie Triyana menilai, Provinsi Banten mempunyai modal untuk maju. Hanya saja, para pemangku kepentingan belum bisa mengoptimalkan sumber-sumber yang ada. “Ada modal untuk maju, tapi tidak tahu modal itu di mana? Karena sering terbelit dalam kepentingan jangka pendek. Kaya politik, bagaimana caranya kita menang. Artinya ke depan, kita tidak bisa mementingkan kepentingan sesaat. Padahal kita punya sumber daya alam yang baik, kekayaan budaya, sejarah. Dana saya, kita itu bisa dianggap sebagai modal Banten untuk bisa maju,” kata Bonnie. Menurut Bonnie, Pemprov Banten harus mengeksploitasi lebih potensi-potensi yang ada di Banten. Di samping itu, persoalan-persoalan mendasar yang masih menjadi ganjalan juga harus segera dituntaskan. “Seperti angka kematian ibu dan anak, lalu kemiskinan, angka pengangguran itu juga harus diselesaikan perlahan. Pemerintah daerah harus butuh sumbangsih pemikiran dan energi, khsuusnya dari masyarakat sipil (civil society),” ujarnya. Ia menilai, gerakan civil society di Banten sangat rendah. Padahal menurutnya, gerakan itu juga dapat membantu Banten menjadi maju. “Jangan hanya di jalan saja. Tapi juga melalui dialog-dialog. Masukan ide dan gagasan ke legislatif. Jangan sampai juga hajat politik lima tahunan jadi hajat politik saja, Banten harus maju,” katanya. Bonnie juga menyoroti ketimpangan yang terjadi antara wilayah Banten utara dan selatan. Ia juga meminta kepada Gubernur Banten selaku perpanjangan tengan pemerintah pusat dan sebagai koordinator pembangunan di daerah untuk menyelesaikan masalah ketimpangan itu. “Harus ada pemerataan. Jangan sampai akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan di utara bagus, tapi di selatan rendah. Saya dengar kemarin ada wanita hamil ditandu. Dan itu harusnya terjadi di abad 16, bukan di abad 21. Kita juga mendorong pemprov untuk bisa memastikan ada pemerataan dan kemakmuran di seluruh Banten. Saya pikir itu merupakan harapan seluruh masyarakat Banten,” ujarnya. “Soal angka kemiskinan masih tinggi di Banten itu kan statistik, kita bicara realita. Kata (Joseph) Stalin, satu orang mati itu tragedi, tapi 10 orang mati itu statistik,” sambungnya. Terkait pendidikan, Bonnie menilai, angka rata-rata pendidikan di Banten adalah 8,6 tahun. Hal itu berarti masih banyak anak-anak usia sekolah tidak lulus SMA. “Itu juga hanya angka statistik. Tapi dalam beberapa hal, Banten ketinggalan sementara. Di luar sana sudah bicara revolusi industri 4.0,” katanya. Banten, kata Bonnie, merupakan daerah luas yang dikenal sebagai daerah religius. “Tapi ternyata, Banten menjadi salah satu dari tiga daerah yang mudah terpapar hoaks. Belum lagi Banten juga masuk dalam daerah dengan tingkat korupsi yang cukup mengkhawatirkan. Dan ini merupakan tugas berat bagi pemangku kepentingan di Banten untuk bisa mengatasi permasalahan tersebut,” ujarnya.(tb)
Sumber: