DPR Lama Wariskan Luka, Citra Negatif, Lebih Mementingkan Elite
JAKARTA -Masa bakti anggota DPR 2014-2019 telah berakhir, kemarin. Lima tahun bekerja, banyak sorotan publik. Kontroversi pergantian pimpinan, korupsi hingga kejanggalan dalam urusan regulasi. Apa yang disajikan wakil rakyat itulah yang mematik reaksi jutaan mahasiswa di penjuru negeri hingga akhirnya menelan korban jiwa. Pengamat politik dan tata negara Refli Harun menilai kecenderungan DPR periode lalu lebih memprioritaskan kepentingan politik, begitu kentara. Salah satunya menggolkan Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPRD, dan DPD). "Sejak dibahas dan disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018, revisi UU ini mengundang kontroversi karena berpotensi menjadikan anggota DPR kebal hukum. UU MD3 apa manfaatnya dan fatalnya isinya tidak masuk akal," terang Refli, kemarin (30/9). Ditambahkan Refli, pasal-pasal yang kuat dengan kepentingan politik dan tidak ada urgensinya untuk publik atau manfaat untuk rakyat. "Contoh saja UU MD3. Lho MPR itu mas, hampir tidak ada kerjanya, untuk apa nambah pimpinan sampai 10 orang. Ini kan hanya mengakomodasi kepentingan politik saja," tandasnya. Ditambahkannya, pasal 122 terkait tugas MKD dalam revisi UU MD3 sejak awal menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi antikritik dan kebal hukum. "Ini kan sudah tidak relevan. Di alam demokrasi sikap kritis itu penting. Sebagai bahan masukan agar persoalan-persoalan bangsa dapat dituntaskan, dan DPR punya ruang untuk bekerja," timpalnya. Terpisah, pengamat hukum dan tata negara Yusdiyanto Alam mengatakan dari data yang terangkum sepanjang kinerja DPR, nyaris tidak ada sisi positif. Dari tingkat korupsi yang tinggi, kepatuhan yang rendah dan hasil buruk dalam menyelesaikan regulasi. "Ini penilaian subjektif. Karena saya belum bisa melihat data positif yang terangkum di catatan saya. Tolong dipahami, sehingga saya pun tidak bisa memberikan apresiasi," tegas doktor jebolan Universitas Padjajaran, Bandung itu, kemarin (30/9). Kinerja legislasi menjadi komponen terburuk dari sisi kerja DPR. Ini berbanding terbalik dengan DPR periode sebelumnya. "Anda mungkin masih ingat. DPR memiliki target 189 rancangan undang-undang yang harus diselesaikan DPR periode 2014-2019. Pertanyaanya sederhana, berapa yang sudah tuntas. Total hanya 87 RUU yang disahkan. Ini dari sisi regulasi saja ya," jelas Yusdiyanto, kepada Fajar Indonesia Network (FIN). Nah, dari jumlah tersebut, 38 di antaranya masuk dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Sementara sisanya, yakni 49 RUU merupakan RUU kumulatif terbuka. "Jelas kok, kalau dibanding dengan periode sebelumnya bisa menyelesaikan 69 dari 247 RUU atau sebesar 22 persen dari target, kinerja DPR saat ini hanya 20 persen saja. Secara persentase ada perbedaan. Ini kalau kita bicara angka dan jumlahnya," bebernya. Selama kerja DPR periode lalu berlangsung, sambung Yusdiyanto para anggota dewan telah melakukan tiga kali revisi pada undang-undang ini. Revisi pertama disahkan 5 Desember 2014, revisi kedua 12 Februari 2018, dan terakhir 16 September 2019. Tiga kali revisi tersebut mengubah aturan soal jumlah kursi Pimpinan MPR. Awalnya, kursi Pimpinan MPR berjumlah lima, lalu berubah menjadi delapan untuk MPR dan DPD. Terakhir, kursi pimpinan MPR diputuskan menjadi 10 orang yang terdiri dari satu ketua dengan sembilan orang wakil ketua. Menurut dia, hampir seluruh kerja DPR periode ini terlihat mementingkan kepentingan elite dan diri sendiri. Salah satunya, terlihat dari banyaknya UU yang dinilai tidak terkait langsung dengan rakyat dan kaum marjinal yang diselesaikan DPR. Sebaliknya, DPR cepat menangani aturan yang dianggap dapat menguntungkan pribadi dan kelompoknya. "Misalnya RUU KPK, jujur saja ada nafsu besar untuk mengesahkan RKUHP. Itu kan tidak terlihat sedang memperjuangkan kepentingan rakyat kecil malah mau memberangus rakyat kecil. Semua serba kontradiktif," ungkapnya. Terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus mengatakan selama lima tahun terakhir, belum ada prestasi yang ditorehkan DPR. Satu-satunya catatan positif mengenai kinerja anggota dewan adalah adanya konsolidasi dan kelembagaan di bawah kepemimpinan Bambang Soesatyo."Jadi saya kira mereka sukses untuk menjadi pelayan dari elite kekuasaan. Mungkin itu hal baik dari DPR 2014-2019," ujarnya. Sementara, dari sisi penegakan pelanggaran etik juga dinilai sangat rendah. Misalnya, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Ketua DPR sebelumnya Setya Novanto yang melakukan pelanggaran hingga tiga kali. "Hingga saat ini, tidak ada sanksi tegas dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pastinya sudah ada hukuman berat untuk tiga kali penggaran ini. Tapi ini kan tidak pernah kan," kata dia. Pada catatan lain, ada dua pimpinan terjerat korupsi. Ini catatan hitam selama lima tahun terakhir. "Totalnya ada 23 kasus yang melibatkan para anggota dewan. Bahkan, kasus korupsi juga menjerat para pimpinan seperti Setya Novanto dan Taufik Kurniawan," ungkapnya. Yang lebih menarik di periode sebelumnya, terjadi pergantian pimpinan DPR sebanyak empat kali dalam satu kali masa jabatan. Jelas ini memengaruhi kinerja lembaga tersebut. "Apa yang menyebabkan terjadi seperti itu, karena kasus korupsi. Anda bisa bayangkan, DPR tempatnya membuat regulasi, di DPR sendiri yang mengangkangi. Fatalnya, ini terjadi pada tingkat pimpinan," terangnya. (fin)
Sumber: