Penundaan RUU KUHP, Bergantung Hasil Lobi

Penundaan RUU KUHP, Bergantung Hasil Lobi

JAKARTA-Desakan untuk membatalkan pengesahan beberapa Rancangan Undang-undang (RUU) kontroversial datang bertubi-tubi. Presiden Joko Widodo sedikit melunak. Tidak hanya terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang hukum pidana, Kepala Negara juga meminta pengesahan RUU Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba ditunda. Sikap tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin petang (23/9). Tapi, menolak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK. Jokowi mengaku sudah menyampaikan sikap tersebut saat bertemu dengan pimpinan DPR kemarin siang. "Rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI berikutnya," ujarnya. Jokowi mengatakan, penundaan diperlukan untuk memaksimalkan kualitas dari UU tersebut. Termasuk juga dengan membuka partisipasi masyarakat. ’’Untuk mendapatkan masukan, mendapatkan substansi yang lebih baik dari masyarakat,” imbuhnya. Namun demikian, sikap berbeda disampaikan Jokowi terhadap UU KPK yang sama-sama mendapat penolakan masyarakat. Mantan Walikota Solo itu menegaskan sikap pemerintah sudah final. Oleh karenanya, dirinya tidak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). ’’Enggak ada,” tuturnya. Saat ditanya soal perbedaan sikap tersebut, presiden dua cucu itu menyebut UU KPK sebagai inisiatif DPR. Berbeda dengan RKUHP, RUU Pertanahan dan RUU Pemasyarakatan yang menjadi inisiatif pemerintah. Sementara itu, sikap berbeda disampaikan para pimpinan DPR. Hingga kemarin (23/9), para wakil rakyat itu masih mengintip peluang dilakukan pengesahan RKUHP sebelum masa jabatan berakhir pada 30 September 2019 mendatang. Hal ini disampaikan Ketua Panja RKUHP Mulfachri Harahap usai pertemuan tertutup antara pimpinan DPR dengan Presiden Jokowi. Mulfachri mengatakan, pengesahan memang tidak dilakukan pada paripurna hari ini (24/9), namun dia menyebut masih ada tiga paripurna lagi sampai dengan akhir masa jabatan. Sepanjang 23 sampai 30 September 2019, kata dia, masi ada forum lobi dengan pemerintah dan DPR. ’’Nanti kita lihat sejauh mana forum lobi itu menghasilkan sesuatu yang baik untuk kita semua,” ujarnya. Selain progres di forum lobi, kata dia, pihaknya juga akan memonitor kondisi yang terjadi di masyarakat. Seperti diketahui, desakan untuk menolak pengesahan RUU KUHP yang penuh dengan pasal bermasalah berlangsung di berbagai daerah. Lantas, sejauh mana peluang RUU KUHP disahkan periode sekarang? Mulfachri menyebut bergantung pada forum lobi. Yang pasti, dia menyebut masih ada waktu sampai 30 September. ’’Kita akan putuskan, nasib RUU KUHP akan seperti apa,” kata Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengungkapkan ada beberapa hal yang dibicarakan DPR dengan Presiden Jokowi dalam pertemuan tertutup. Khususnya yang terkait dengan 14 pasal krusial dalam RUU KUHP. Di antaranya tentang delik asusila. Mulai dari pasal kumpul kebo atau perzinaan. Di mana hubungan persetubuhan di luar ikatan perkawinan bisa dipidana. Nah, norma tersebut ramai menuai protes dari luar negeri. Seperti Australia, Tionghoa, Amerika dan negara-negara Eropa. Itu menyangkut keberadaan turis asing dari negara-negara tersebut. ’’Di Bali, misalnya. Banyak turis asing di sana tidak menunjukan status perkawinannya. Khawatir ada kriminalisasi yang berdampak pada dunia pariwisata,” jelas Bambang Soesatyo. Termasuk yang dipersoalan Jokowi soal pasal-pasal penghinaan presiden. Menurut Bamsoet—sapaan karib Bambang Soesatyo—Presiden Jokowi tidak keberatan jika pasal tersebut nanti dihilangkan. Termasuk yang disinggung juga soal pasal santet. ’’Intinya pasal-pasal itu kita perdalam,” ujarnya. Bamsoet tetap berharap agar RUU KUHP bisa disahkan dalam peridoe DPR ini. Menurutnya, selain hari ini (24/) masih tersisa dua kali rapat paripurna. Yaitu tanggal 26 dan 30 September. ’’Masih ada waktu untuk duduk bersama,” katanya. Politisi Golkar itu mengaku segala kemungkinan masih bisa terjadi. Sebab masih ada ruang bagi DPR untuk terus berkomunikasi dengan pemerintah. Namun keputusan final, ujar dia, sangat tergantung pada dinamika, baik di internal DPR maupun publik. Apalagi, saat ini mulai merebak demonstrasi mahasiswa yang ekskalasinya terus meluas. ’’Saya sebagai pimpinan berupaya melakukan harmonisasi dan selaraskan antara keinginan presiden DPR dan dinamika lapangan,” imbuhnya. Pakar Hukum Perburuhan, HAM, dan Jaminan Sosial Surya Tjandra menyampaikan, isi RUU KUHP tidak semuanya buruk. Rumusan RUU yang mulai digagas sejak 1981 itu dinilai sudah bagus. Namun dia mengkritisi langkah DPR yang terlalu bernafsu untuk segera mengesahkan RUU KUHP. ’’DPR periode ini sebetulnya ingin menunjukkan prestasinya. Tetapi dengan waktu yang mepet mengorbankan konten,” kata Surya, kemarin. Dia mencatat sedikitnya ada dua persoalan krusial dalam RUU KUHP. Pertama, soal dihidupkannya pidana adat dalam pasal 2. Padahal pasal-pasal tersebut dinilai bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Setiap daerah memiliki hukum adat yang berbeda. Di daerah Lebak, Banten, misalnya. Di sana, ujar Surya, terdapat lebih dari 400 hukum adat. Jenis hukumnya juga selalu berubah-ubah. ’’Jadi mana yang harus kita ikuti. Padahal azas hukum adalah kepastian,” paparnya. Persoalan kedua terkait dengan pidana korporasi. Hidupnya pasal pidana korporasi dalam RUU KUHP dinilai menghambat investasi dan mengganggu dunia usaha. Akibatnya, investor berfikir berkali-kali untuk melabuhkan investasi di suatu daerah. ’’Malah ini menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Karena dunia usaha juga takut dikriminalisasi,” papar Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya itu. Pasal tersebut bertentangan dengan cita-cita pemerintahan Jokowi untuk memudahkan investasi masuk. Persoalan kedua terkait dengan pidana korporasi. Hidupnya pasal pidana korporasi dalam RUU KUHP dinilai menghambat investasi dan mengganggu dunia usaha. Akibatnya, investor berfikir berkali-kali untuk melabuhkan investasi di suatu daerah. ’’Malah ini menimbulkan ketidakpastian dalam dunia usaha. Karena dunia usaha juga takut dikriminalisasi,” papar Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya itu. Sedikitnya ada empat pasal yang bersinggungan dengan pidana korporasi. Yaitu pasal 48, 50, 518 dan pasal 519. Bahkan pasal 519 dinilai sangat karet. Tidak  disebutkan definisi atau unsur yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ’’kerugian kreditur”. Bahwa menjual aset di bawah harga pasar juga bisa terancam pidana. Padahal dalam dunia usaha business judgment harus dilakukan tergantung situasi pasar yang berkembang. ’’Pasal-pasal ini bertentangan dengan cita-cita pemerintahan Jokowi untuk memudahkan investasi masuk. Jadi sebaiknya memang dibahas lebih jauh lagi,” tandas Surya Tjandra. (far/mar)

Sumber: