Jokowi: Tunda Pengesahan RKUHP, Setelah Mempertimbangkan Masukan dari Masyarakat
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan pengesahan rancangan kitab Undang-Undang hukum pidana (RKUHP) ditunda. Jokowi telah meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikan keputusan ini kepada parlemen, Jumat (20/9). Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan masukan-masukan dari masyarakat sipil dan kalangan lain yang keberatan dengan pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP ini. "Saya berkesimpulan masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Untuk itu, saya telah memerintahkan Menkumham selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI. Yaitu, agar pengesahan RUU KUHP ditunda," jelas Jokowi di Istana Bogor, Jumat (20/9). Jokowi juga meminta pembahasan RUU KUHP dilanjutkan oleh anggota DPR RI periode selanjutnya. Ini mengingat masa bakti anggota DPR RI periode ini sudah hampir habis. Presiden juga meminta Menkumham terus menjaring masukan dari kalangan masyarakat dan para ahli terkait poin-poin dalam RKUHP yang masih menjadi polemik. "Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya. Saya juga memerintahkan Menkumham untuk kembali menjaring masukan dari berbagai kalangan masyarakat," katanya. Pembahasan RUU KUHP memang memantik pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejumlah pasal dianggap multitafsir dalam rancangan undang-undang ini. Pembahasan RKUHP juga menambah rentetan kontroversi oleh DPR dan pemerintah, setelah sebelumnya mengesahkan RUU KPK. Direktur Imparsial, Al Araf, meminta pemerintah menunda pengesahan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP). Pihaknya menilai RKUHP masih berisi pasal-pasal yang bermasalah dan mengganggu kebebasan masyarakat sipil. "Kami menilai RKUHP mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan sipil dan bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Al Araf dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (20/9). Pasal yang dimaksud antara lain pasal penghinaan terhadap Presiden (Pasal 218-220), pasal terkait dengan kejahatan HAM (Pasal 599-600) dan lainya. Merujuk hal ini, dia meminta pembahasan RKUHP sebaiknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Di tempat terpisah, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan, setidaknya ada 17 isu bermasalah di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal-pasal yang menegaskan isu-isu tersebut di RKUHP dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pemetaan 17 masalah ini, menurut Maidina, berdasarkan hasil penelusuran dalam draf RKUHP per 15 September lalu. "Kami masih memetakan dan masih banyak masalah, ada 17 isu bermasalah di RKUHP. Itu terkait banyak hal, misalnya yang terkait dengan perlindungan perempuan, kepastian hukum, demokrasi dan pasal penghinaan Presiden, " tutur Maidina dalam diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/9). Kemudian, ICJR juga mencatat adanya sejumlah pasal kontroversial seperti pasal penggelandangan, pasal tentang memberi minum orang yang sudah mabuk, maupun pasal unggas yang masuk ke pekarangan yang sudah diberi benih. Pasal-pasal ini menurut dia merupakan bunyi dari KUHP hasil warisan Belanda sebelumya. "Itu bunyi pasal Belanda masih ada, hanya sedikit dimodifikasi di RKUHP dan dia dimasukan di RKUHP. Itu menggambarkan bahwa proses perumusan RKUHP tidak berbasis evaluasi. Seharusnya pemerintah evaluasi dulu pasal mana yang harus masuk RKUHP dan mana yang harusnya tidak, " ungkapnya. Dengan kata lain, Maidina menyebut perumus RKUHP gagal mengambil peran untuk mengevaluasi pasal yang sudah tidak relevan lagi. Dia mencontohkan, pasal penggelandangan sebenarnya selama ini telah diatur oleh pemerintah daerah dalam tataran administrasi mereka. Sementara itu Dewan Pers menyatakan materi yang terkait dengan kemerdekaan pers dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) jangan mengganggu kemerdekaan pers dan menghalangi kerja jurnalistik. Dewan Pers, dalam siaran persnya yang dikutip dari lamannya, Jumat, (20/9) menyatakan telah dan terus mencermati pembahasan RKUHP. Untuk memenuhi salah satu fungsinya sesuai dengan Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), yakni melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, Dewan Pers memberikan pandangan terhadap pembahasan dan beberapa ketentuan dalam RKUHP. Dewan Pers memberikan apresiasi dan penghargaan terhadap upaya pembahasan RUU KUHP oleh Pemerintah dan DPR RI yang telah dilakukan. Namun, demi kebaikan bangsa dan negara, serta memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, seyogianya pengambilan keputusan penetapan RUU KUHP menjadi undang-undang, terlebih dahulu mendengar pendapat publik secara luas, atau tidak hanya berdasar pada pertimbangan kewenangan semata. Dengan demikian, Dewan Pers berharap penetapan undang-undang tersebut tidak dilakukan pada masa akhir periode keanggotaan DPR RI 2014—2019. Setelah mempelajari materi RKUHP, Dewan Pers menyatakan pasal-pasal di bawah ini ditiadakan karena berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU Pers, terutamanya Pasal 2 yang berbunyi: "Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” RUU tersebut juga memuat sejumlah pasal yang multitafsir, memuat “pasal karet”, serta tumpang-tindih dengan undang-undang yang ada sehingga UU KUHP berpotensi mengganggu kemerdekaan pers dan menghalangi kerja jurnalistik. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 217 sampai dengan 220 (Bab Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden) perlu ditiadakan karena merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP yang sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Selanjutnya, Pasal 240 dan 241 (penghinaan terhadap pemerintah), serta Pasal 246 dan 247 (penghasutan untuk melawan penguasa umum) perlu ditiadakan karena sifat karet dari kata “penghinaan” dan “hasutan” sehingga mengancam kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat, dan berekspresi. Pasal 262 dan 263 (penyiaran berita bohong); Pasal 281 (gangguan dan penyesatan proses peradilan); Pasal 304 sampai dengan 306 (tindak pidana terhadap agama); Pasal 353 sampai dengan 354 (penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara); Pasal 440 (pencemaran nama baik); Pasal 446 (pencemaran orang mati). Dewan Pers berharap anggota DPR 2019—2024 dapat memenuhi asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Huruf g UU No. 12/2011 dalam proses RUU KUHP dengan memberikan kesempatan seluruh lapisan masyarakat yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, serta pengundangan secara transparan dan terbuka.(rep)
Sumber: