Harga Rokok Naik hingga Rp 9 ribu
JAKARTA-Bagi para perokok, siap-siap saja untuk merogoh kocek lebih dalam. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen. Hal ini berimbas pada harga jual eceran tahun depan akan naik 35 persen. Kenaikan harga jual tertinggi Rp 9 ribu/bungkus. Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, akhir pekan kemarin. Dengan kenaikan cukai 23 persen, harga eceran rokok juga akan naik. "Kenaikan harga jual eceran (rata-rata) menjadi 35 persen," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani usia rapat. Wanita yang akrab disapa Ani itu menuturkan, kenaikan tarif cukai rokok ditargetkan bisa diberlakukan mulai 1 Januari 2020. Untuk itu, pihaknya akan segera mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) sebagai landasan hukum dan teknisnya. Ani menambahkan, kenaikan tersebut sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Termasuk target pengurangan konsumsi dan penerimaan negara. Dia menilai kenaikan 23 persen cukup moderat. Di satu sisi, kenaikan dilakukan sebagai upaya menurunkan konsumsi. Namun di sisi lain, menyesuaikan kondisi industri. "Kalau terjadi kenaikan rokok yang sangat tinggi, maka memunculkan kejadian rokok ilegal," imbuhnya. Saat ini Bea dan Cukai Kemenkeu sudah bisa menurunkan rokok ilegal hanya pada level 3 persen. Ani menjelaskan, dari sisi konsumsi, tren yang terjadi di masyarakat cukup negatif. Di mana jumlah penghisap rokok mengalami peningkatan, khususnya pada anak-anak dan perempuan. Di level anak-remaja, konsumsi naik dari 7 persen menjadi 9 persen, sementara perempuan naik dari hanya 2,5 persen menjadi 4,8 persen. "Oleh karena itu, kita perlu perhatikan bagaimana menggunakan cukai ini dalam rangka untuk mengurangi tren kenaikan rokok tersebut," tuturnya. Untuk diketahui, tarif rokok yang berlaku saat ini ada di kisaran Rp. 25 sampai Rp. 625 per batangnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Yang paling murah adalah rokok kategori Rokok Kelembak Kemenyan (KLM) dengan tarif cukai Rp. 25 dan termahal Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan tarif cukai Rp. 625 per batang. Kenaikan ini disambut baik oleh Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menuturkan, meski belum sepenuhnya sesuai harapan namun tampak ada niatan baik dari pemerintah. Pasalnya, selain menaikkan cukai rokok secara signifikan, pihaknya juga mendesak penerapan simplifikasi. ”Sedikit memenuhi, tapi belum maksimal. Karena, tanpa simplifikasi, kenaikan cukai tidak efektif,” tegasnya. Menurut dia, industri rokok akan tetap memainkan tiers bawah dengang memproduksi rokok di bawah 3Miliar batang. Padahal, kondisi saat ini sudah darurat. Data Riskesdas terkini (2018) melaporkan, bahwa prevalensi perokok anak terus meningkat. Dari 166 juta perokok, 7 juta merupakan perokok anak. ”Harusnya tidak boleh ada perokok anak untuk memutus rantai perokok,” ujarnya. Ini membuktikan, lanjut dia, bahwa sistem kebijakan cukai di Indonesia tidak efektif untuk kepentingan mengendalikan konsumsi Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok mendapat respons negatif dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). Kenaikan tarif yang berdampak terkereknya harga jual eceran rokok hingga 35 persen dinilai memiliki risiko yang tidak sederhana. Ketua Bidang Media AMTI, Hananto Wibisono mengatakan, kenaikan cukai terlalu jauh dari angka inflasi dan asumsi pertumbuhan ekonomi. Dalam RAPBN 2020, asumsi inflasi ditargetkan 3,1 persen, sementara asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Nah, jika kenaikan cukai mencapai 23 persen, dia menilai bisa berdampak serius pada pelaku industri hasil tembaku (IHT). "Kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan keberlangsungan para pemangku kepentingan IHT," ujarnya. Dia mengingatkan, saat ini sektor IHT merupakan industri legal yang masih menjadi tumpuan hidup lebih dari 6 juta orang. Jika terjadi guncangan terhadap industri IHT, maka akan berdampak pada petani dan kelompok pekerja. Selain itu, setiap tahun pemerintah mengandalkan produk hasil tembakau untuk memenuhi target penerimaan perpajakan. Apabila dihitung secara keseluruhan, mulai dari cukai, pajak pertambahan nilai (PPN) hasil tembakau, ditambah pajak rokok, kontribusinya terhadap penerimaan perpajakan rata-rata setiap tahun mencapai 13,1 persen. Lebih lanjut lagi, kenaikan cukai juga belum tentu meminimalisasi konsumsi rokok. Sebaliknya, justru menjadi stimulant pertumbuhan rokok ilegal. Jika rokok ilegal marajalela, kata dia, maka semua pihak akan dirugikan. Mulai dari pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembaku dan cengkih. "Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak membayar cukai," imbuhnya. Padahal, target penerimaan dari cukai hasil tembakau sebesar Rp 171,9 triliun pada tahun 2020. Sebaiknya, lanjut Hananto, pemerintah melibatkan petani, pekerja dan pelaku IHT dalam perumusan kebijakan dan perundang-undangan yang memengaruhi keberlangsungan IHT. Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menambahkan, keputusan pemerintah menaikan cukai rokok 23 persen akan memberatkan pelaku IHT. Terlebih, kenaikan cukai itu akan berdampak pada naiknya harga jual eceran rokok sebesar 35 persen. Henry mengeluhkan, keputusan kenaikan cukai ini tidak pernah dikomunikasikan dengan kalangan industri. “Selama ini informasi yang kami terima rencana kenaikan cukai di kisaran 10 persen. Angka yang moderat bagi kami, meski berat,” kata Henry. Rata-rata, setiap tahunnya cukai rokok memang mengalami kenaikan sekitar 10-11 persen. Namun tahun lalu tarif cukai rokok tidak naik. Kenaikan cukai rokok dan harga jual eceran yang agak drastis ini akan memaksa pelaku IHT menyetor cukai dalam jumlah yang besar. Diperkirakan pada tahun depan cukai yang disetorkan pelaku industri kepada pemerintah mencapai Rp 185 triliun. Sementara tahun ini target cukai Rp 157 triliun. Artinya kemungkinan akan ada kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 28 triliun pada tahun depan. Di samping cukai, kata Henry, pelaku industri juga masih dibebankan pajak rokok 10 persen serta dan PPN 9,1 persen dari harga jual eceran. “Dengan demikian setoran kami ke pemerintah bisa mencapai Rp 200 triliun. Belum pernah terjadi kenaikan cukai dan harga jual eceran yang sebesar ini. Benar-benar di luar nalar kami,” keluhnya. Selain itu, pelaku IHT saat ini juga menghadapi situasi pasar yang masih lesu. Henry mengkhawatirkan produksi yang kian turun seiring pendapatan yang berkurang, karena harga rokok tambah mahal. Hal ini akan berakibat pada menurunnya penyerapan tembakau dan cengkih, serta dampak pada menurunnya serapan tenaga kerja. “Kelihatannya memang pemerintah tidak peduli pada industri hasil tembakau. Tidak memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkih. Kami tidak bisa membayangkan kesulitan yang akan kami hadapi ke depan,” tukasnya. (far/rin)
Sumber: