Pulau Jawa Mulai Dilanda Kekeringan
JAKARTA - Beberapa wilayah di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai mengalami kekeringan. Fenomena tersebut mengakibatkan 100.230 warga terpapar dampak kekeringan. "BPBD setempat telah mengirimkan air bersih ke beberapa wilayah untuk menangani kekeringan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rita Rosita siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (23/6). Rita mengatakan di Daerah Istimewa Yogyakarta, kekeringan terjadi di 57 desa di Kabupaten Gunung Kidul dan mengakibatkan 24.166 kepala keluarga atau 85.000 jiwa terdampak keadaan itu. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gunung Kidul telah mengirimkan 900 ribu liter air bersih ke wilayah Girisubo, Rongkop, Tepus, dan Paliyan. "Di Jawa Tengah, kekeringan terjadi di dua kecamatan di Kabupaten Cilacap, yaitu Kewungetan dan Patimuan. Sebanyak 3.984 kepala keluarga atau 14.253 jiwa terdampak," kata dia. BPBD Kabupaten Cilacap telah mengirimkan 24 mobil tangki yang masing-masing berkapasitas 5.000 liter air bersih ke Desa Ujung Manik, Desa Sidamukti, Dusun Gendiwung Cagak, dan Dusun Langenkepuh. Kekeringan di Jawa Timur terpantau di Desa Trosono, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan. Sebanyak 287 kepala keluarga atau 977 jiwa terdampak situasi yang disebabkan musim kemarau tersebut. "Kekeringan telah dilaporkan sejak Senin (17/6) lalu sehingga telah diantisipasi BPBD Kabupaten Magetan dengan mengirimkan air bersih," kata dia. Selain DIY, warga yang terdampak kekeringan di Kabupaten Banyumas semakin banyak. Kepala Harian BPBD Banyumas Ariono Poerwanto menyebutkan, semula hanya enam desa yang terlapor mengalami kesulitan air bersih, namun saat ini bertambah dua desa menjadi delapan desa. Kedelapan desa tersebut, terdiri dari Desa Nusadadi Kecamatan Sumpiuh, Desa Karanganyar Kecamatan Patikraja, Desa Banjarparakan Kecamatan Rawalo, Desa Kediri dan Desa Tamansari Kecamatan Karanglewas, Desa Srowot Kecamatan Kalibagor, Karangtalun Kidul Kecamatan Purwojati, dan Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang. Pusat Analisis Situasi Siaga Bencana (Pastigana) BNPB memperkirakan awal musim kemarau pada 2019 umumnya akan terjadi pada Mei, Juni, dan Juli dengan persentase sekitar 83 persen. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus 2019 dengan presentase 53 persen. Sementara itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta kesulitan mengatasi masalah kekurangan air bersih yang melanda masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul setiap tahunnya. Menurut Gubernur DIY Sri Sultan HB X tidak mudah mengalirkan air bersih. "Kami hanya bisa membantu pembuatan PAM desa (Pamdes) bagi desa-desa yang memiliki sumber mata air untuk pembangunan jaringan sendiri," katanya usai Syawalan di Kabupaten Gunung Kidul. Ia mengatakan biaya mengalirkan dan mengangkat sumber mata air bawah tanah di Gunung Kidul cukup mahal. Masih perlu banyak mata air yang ditemukan untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat Gunung Kidul. "Hal ini membutuhkan waktu," katanya. Kepala Pelaksana BPBD Gunung Kidul Edi Basuki mengatakan sebanyak 10 kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul mulai dilanda kekeringan cukup parah. Wilayah tersebut berpotensi mengalami kesulitan air bersih pada musim kemarau ini. Berdasarkan rapat koordinasi antara pemangku kepentingan dan pemerintah kecamatan, ada 10 kecamatan mulai terdampak kekeringan. Kesepuluh kecamatan itu adalah Girisubo, Rongkop, Purwosari, Tepus, Ngawen, Ponjong, Semin, Patuk, Semanu, dan Paliyan. "Dari 10 kecamatan terdampak kekeringan, kondisi paling parah terjadi di Kecamatan Paliyan, Girisubo, dan Rongkop. Kami sudah mendistribusikan air bersih ke tiga kecamatan tersebut sejak 1 Juni lalu," kata Edi. Ia mengatakan BPBD Gunung Kidul sudah menyiapkan seluruh armada dan pendukungnya dalam menghadapi ancaman kekeringan dan kekurangan air bersih. BPBD juga telah menyosialisasikan mekanisme pengajuan permohonan bantuan air bersih ke pemerintah kecamatan hingga desa.(ant/rep)
Sumber: