Edi Dikejar Pertanyaan Belasan Saudara
Beban moral para jemaah umrah yang telantar macam-macam. Ada yang karena telah mengadakan tasyakuran, mengajukan cuti ke kantor, atau mengajak keluarga besar berangkat bersama. Ada pula yang minta pengembalian dana, tapi hanya mendapatkan cek kosong. M Hilmi S., Bayu P., Jakarta, YANG hendak dikabarkan memang tentang umrah. Ibadah ke Tanah Suci yang telah begitu lama diimpikan sang ibunda. Tapi, Puput Ervian tak akan sembarangan menyampaikannya. Pria 35 tahun itu selalu akan memastikan dulu kondisi sang ibunda sebelum berkabar. “Saya harus berhati-hati karena ibu sudah tua,” katanya tentang Siti Aminah, sang ibu yang telah berusia 68 tahun. Kehati-hatian tersebut diperlukan karena dalam periode Desember 2016 sampai Mei 2017, semua kabar terkait umrah yang dia sampaikan ke sang ibu adalah kabar yang tidak mengenakkan. Sebab, Siti termasuk salah seorang di antara ratusan calon jemaah umrah First Travel (FT) yang batal berangkat. “Sampai sekarang ibu saya belum mendapatkan jadwal keberangkatan,” ujarnya setelah mengikuti mediasi yang diadakan Kementerian Agama (Kemenag) di Jakarta kemarin (24/5). Siti merupakan salah seorang jemaah umrah FT yang mengikuti program promosi hanya dengan dana Rp14,3 juta. Seluruh biaya pun sudah dilunasi pada Januari 2016. Pihak FT kemudian menjanjikan keberangkatan pada periode Desember 2016 sampai Mei 2017. Tapi, ditunggu hingga akhir April, tidak ada tanda-tanda Siti bakal berangkat. Akhirnya, awal Mei lalu Puput mengirim surat elektronik kepada FT dengan tembusan ke Kemenag. Pria 35 tahun itu meminta FT membuat surat pernyataan. “Isinya, ibu saya akan berangkat tanggal sekian,” lanjutnya. Tapi, hingga kemarin surat pernyataan tersebut tak kunjung dia dapatkan. Karena itulah, kemarin Puput mengikuti mediasi yang difasilitasi Kemenag. Puput menegaskan tidak menginginkan refund, tapi jadwal pasti keberangkatan. “Kalau tidak kunjung berangkat, saya akan menempuh jalur hukum. Saya akan tuntut FT dengan pasal penipuan atas tindakan wanprestasi yang dilakukan,” tandasnya. Kalau Siti, melalui sang anak, tak menginginkan refund alias pengembalian dana, lain lagi Edi Budiman. Edi menuntut uang dikembalikan penuh dalam tempo tujuh hari. Sehingga bisa digunakan untuk mendaftar umrah ke travel lainnya. Pensiunan tentara itu tidak ingin ada penjadwalan ulang (reskedul) keberangkatan umrah. Karena sangat mungkin diingkari lagi oleh manajemen FT. “Saya sangat malu sekali (gara-gara kegagalan berangkat umrah ini, Red). Karena saya yang mengajak 17 orang keluarga besar berumrah dengan First Travel,” kata warga Palembang tersebut. Edi dan Judwiwati, sang istri, pun setiap saat harus menghadapi pertanyaan para saudara yang menanyakan kapan berangkat. Maklum, tidak sedikit saudara Edi yang sudah woro-woro dan menggelar tasyakuran menjelang keberangkatan umrah. “Tahu sendiri kalau orang dari dusun akan berangkat umrah hebohnya seperti apa,” ucap Edi. Selain itu, ada saudaranya yang harus menabung sejak beberapa tahun silam untuk bisa membayar biaya umrah. “Saya punya beban moral,” katanya. Pria kelahiran 24 April 1960 tersebut menjelaskan, dirinya berani mengajak saudara-saudaranya karena mengalami sendiri berumrah memuaskan dengan FT. Edi mengungkapkan, pada 2014 dirinya berumrah dengan FT. Saat itu dia mendapatkan hotel bintang empat dan maskapai penerbangan Qatar Airlines. Dari pengalaman yang memuaskan itulah, Edi mengajak saudara-saudaranya umrah dengan FT. Seluruhnya lantas membayar ongkos umrah Rp 14,3 juta sekitar setelah Lebaran 2015. Mereka dijanjikan berangkat umrah pada periode Desember 2016 sampai Mei 2017. Tapi, janji tinggal janji. Semula total ada 193 orang yang akan berangkat lewat paket umrah murah seharga Rp 14 juta dari FT tersebut. Mayoritas datang dari luar Jakarta. Dijanjikan berangkat pada 12 Mei, ternyata ada perubahan jadwal. Keberangkatan diundur sampai 18 Mei. Namun, pada 18 Mei hanya 45 orang yang diberangkatkan. Sedangkan nasib 148 jamaah tidak jelas sampai sekarang. Haris Santoni, korban lainnya, juga baru tahu bahwa dirinya batal berangkat dengan sang istri pada H-2. “Direskedul sampai batas waktu yang belum ditentukan,” kata warga Depok, Jawa Barat, tersebut. Sampai di situ, Haris masih bersabar. Ternyata, ketika mendatangi kantor FT pertengahan April lalu, terjadi keributan. Ketika itulah Haris baru tahu dirinya bukan satu-satunya korban. Akhirnya FT mengumumkan bahwa pihaknya akan mencarter pesawat pada Mei. Jemaah yang ingin ikut serta menggunakan pesawat carter diminta membayar biaya tambahan Rp 2,5 juta. Haris menyanggupi syarat itu. Dia menambahkan Rp 5 juta lagi. Dua hari kemudian, dia mendapatkan jadwal keberangkatan pada 7 Juni mendatang. Namun, hingga kemarin Haris belum mendapatkan kepastian apakah pada 7 Juni dirinya dan sang istri benar-benar berangkat umrah. Apalagi, dia mendapatkan informasi, cukup banyak jamaah FT yang mengalami penjadwalan ulang. “Yang juga jadi pertanyaan besar, di saat kami mempertanyakan hal semacam ini, FT membuka lagi promo yang harganya Rp 8.888.888 itu,” ucap pria 40 tahun tersebut. Kasubdit Pembinaan Umrah Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Arfi Hatim menyampaikan kekecewaannya terhadap FT. “Sepanjang 2017 ini kami sudah undang First Travel empat kali. Tetapi, pimpinannya tidak pernah datang,” ungkapnya. Pada pemanggilan 22 Mei lalu, travel milik pasangan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan tersebut hanya mengirim penasihat hukum. Kehadiran penasihat hukum tidak memiliki pengaruh karena tak bisa memutuskan kebijakan perusahaan. Arfi mengatakan, penanganan tahap pertama adalah mediasi. Sebab, jemaah meminta tetap diberangkatkan umrah dan ada yang menuntut pengembalian uang. Karena itu, Kemenag harus mempertemukan mereka dengan pihak travel. ”Tetapi, ini sudah diberi kesempatan untuk klarifikasi kepada jamaah langsung, malah tidak hadir,” cetusnya. Selain rombongan jemaah umrah dari FT, Kemenag kemarin didatangi rombongan jemaah dari travel Hannien Tour. Mereka mendatangi kantor Kemenag dengan didampingi Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Salah seorang jemaah Hannien Tour adalah Evi Sofiana. Perempuan 48 tahun itu mengatakan, harga paket umrah di Hannien Tour berbeda dengan di FT. Hannien mematok biaya umrah yang lebih mahal. Mencapai Rp 17,5 juta sampai Rp 25 juta. Perempuan asal Cibinong, Kabupaten Bogor, tersebut menyatakan mendaftar ke kantor pusat Hannien Tour di Jalan Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, akhir 2015. Ada anggota rombongan lainnya yang menyusul melunasi biaya umrah awal 2016. Total rombongannya berjumlah sepuluh orang. Isinya ada ibu, adik, dan sepupu Evi. Ketika seluruh pembayaran beres, pihak Hannien menjanjikan berangkat umrah pada awal April 2017. Untuk memastikan jadwal keberangkatan, Evi mendatangi kantor Hannien pertengahan Maret 2017. “Dari sini saya cium gelagat mencurigakan,” ucapnya. Sebab, jajaran Hannien tidak bisa memastikan tanggal persis keberangkatan. Padahal, sudah tinggal dua pekan dari jadwal semula. Akhirnya yang dikhawatirkan terjadi. Awal April sama sekali tidak ada pemberitahuan jadwal keberangkatan. Padahal, ada sebagian anggota rombongan yang telanjur mengambil cuti kerja di kantor masing-masing. Evi mengaku sudah mengajukan refund atau pengembalian uang ke Hannien. Dia lalu diberi cek oleh pihak Hannien yang bisa dicairkan pada 10 Mei. Ternyata, setelah ke bank, Evi harus menerima kenyataan pahit karena ceknya kosong. Dia lantas menerima cek kedua yang bisa dicairkan 24 Mei (kemarin). Tapi, Evi yakin cek itu pasti kosong juga. “Total yang ingin saya cairkan Rp 142 juta. Sampai sekarang belum jelas uangnya,” ujarnya. Evi sempat menangis dan tidak bisa tidur malam akibat susahnya mencairkan pengembalian uang itu. Sebab, keluarga besarnya, yang kebanyakan berada di Lampung, sudah menunggu untuk mengalihkan ke perusahaan travel lain. “Saya sampai berencana tidak mudik ke Lampung Lebaran ini. Karena malu sama keluarga,” ungkapnya. Menurut Arfi, sesuai dengan ketentuan, jika mediasi tidak tembus dan pelanggaran masih terjadi, Kemenag akan memberikan sanksi teguran kepada para travel bermasalah. Tingkat berikutnya adalah sanksi pembekuan operasi. Sanksi paling berat adalah pencabutan izin operasi. Tapi, bagi Siti, Edi, Haris, Evi, dan para calon jamaah umrah yang jadi korban lainnya, semua tingkat hukuman itu mungkin tidak penting. Sebab, yang ada di benak mereka saat ini adalah bagaimana bisa sesegera mungkin beribadah ke Tanah Suci. “Ibu saya memang tidak pernah menanyakan lagi sekarang. Tapi, saya tahu beliau pasti terus mengimpikan kapan bisa segera berumrah,” kata Puput. (jpg)
Sumber: