Indonesia-Swiss Teken Perjanjian MLA, Harta Koruptor Terus Diburu
JAKARTA- Usaha Pemerintah Indonesia merampas kembali harta para koruptor yang disimpan Swiss akhirnya terwujud. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Hamonangan Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA), Senin (4/2) sore waktu setempat. Perjanjian bantuan hukum timbal balik ini berisi 39 pasal yang mengatur regulasi pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan termasuk milik koruptor. Hasil perjanjian ini merupakan akumalasi dari hasil dua kali perundingan yang dihelat kedua negara. Baik di Bali pada tahun 2015 dan di Bern, Swiss, pada tahun 2017. Dari rilis yang dikirim Kedubes RI di Bern, Swiss, selain melakukan tindakan hukum kepada harta koruptor, perjanjian ini juga mengatur tindakan hukum kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) baik Indonesia maupun Swiss. Jadi kita ingatkan lagi, siapapun mereka yang melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya baik di Indonesia maupun Swiss akan kita ungkap, beber Yasonna Laoly. Yasonna mengaku, perjanjian itu menganut prinsip retroaktif atau memungkinkan para aparat di Indonesia untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. "Meskipun ada kasus yang pernah "tidur" 20 tahun yang lalu, namun belum ada putusan pengadilan, tetap akan kita proses," ujar pria berdarah Nias tersebut. Menurut Yasonna, perjanjian ini sangat penting khusunya bagi Indonesia. Pasalnya, dengan perjanjian MLA ini, harta dan aset para pelaku kejahatan yang dilarikan ke Swiss bisa disita. "Kerjasama MLA menjadi dasar pemerintah menyita, membekukan, dan mengembalikan aset para pelaku kriminal," imbuhnya. Dalam pernyataan bersama, Menteri Kehakiman Swiss, Karin Keller-Sutter menambahkan, hasil penandatanganan ini menjadi sinyal bagi dunia internasional bahwa kedua negara punya komitmen kuat dalam menanggulangi kejahatan lintas negara. Sementara, Duta Besar RI untuk Swiss, Muliaman D. Hadad mengatakan, perundingan ini didorong setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah Indonesia terus mengejar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery) pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia, Desember 2018 lalu. Diketahui, Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan perjanjian MLA yang ke 10 yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI (Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran), dan bagi Swiss adalah perjanjian MLA yang ke 14 dengan negara non-Eropa. Kedua perundingan tersebut sebelumnya dipimpin Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Cahyo Rahadian Muzhar. Cahyo kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham. Bagi Cahyo, kesepakatan ini merupakan terobosan positif penegakan hokum di Indonesia serta kerja sama antar kedua negara. "Lewat perjanjian ini, Pemerintah Indonesia akan semakin lantang menyita aset para koruptor di Indoensia. Jadi MLA menjadi solusi bahwa masalah yurisdiksi dalam penegakan hukum antar lintas kedua negara telah selesai," terangnya. "Jadi aparat penegak hukum Indonesia termasuk KPK semakin mudah mengakses informasi tentang pelarian aset hasil kejahatan ke Swiss," tandasnya. (fin/tgr)
Sumber: