Utang RI Rp4.418,30 T Tidak Produktif
JAKARTA - Utang Indonesia pada Desember 2018 sebesar Rp4.418,30 triliun dianggap tidak produktif. Indikatornya belum dongkrak ekonomi nasional yang masih berkisar 5,1 persen. Mengutip dari situs Kemenkeu APBN Kita, Senin (28/1), utang pada Desember Rp4.418,30 triliun. Angka ini naik Rp22,3 triliun dari bulan November yang sebesar Rp4.395,97 triliun. Rincian utang terdiri dari pinjaman serta penerbitan Surat Utang Negara (SBN). Pinjaman yang ditarik pemerintah di 2018 tercatat mencapai Rp805,62 triliun. Surat berharga negara tersebut dibagi menjadi dua yakni denominasi rupiah yang mencapai Rp2.601,63 triliun dan denominasi valas yang mencapai Rp1.011,05 triliun. Jumlah utang pemerintah dari tahun ke tahun bertambah cukup besar. Tercatat pada 2014 jumlahnya Rp2.608,7 triliun, pada 2016 jumlahnya Rp3.165,1 triliun, pada 2017 Rp3.995,2 triliun, dan pada 2018 jumlahnya Rp4.418,3 triliun. Jika dihitung, pada periode 2014 ke 2015 bertambah Rp5.556,4 triliun, periode 2015 ke 2016 bertambah Rp350,4 triliun, periode 2016 ke 2017 bertambah Rp 479,7 triliun, dan periode 2017 ke 2018 bertambah Rp 423,1 triliun. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistra. Bhima menilai rasio utang RI masih di bawah batas 60 persen sesuai UU Keuangan Negara. Tapi indikator rasio utang bukan indikator tunggal. Artinya debt to services ratio (DSR) Indonesia masih diatas 24 persen yang menjadi salah satu negara dengan dasar tertinggi di dunia. Dasar pengukuran perbandingan antara utang dan penerimaan valas khsusnya dari ekspor. "Ini menunjukkan utang luar negeri belum efektif mendorong kinerja ekspor," ujar Bhima kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Senin (28/1). Selain itu, lanjut Bhima, implikasi dari porsi SBN yang lebih dominan membuat pemerintah harus membayar bunga lebih mahal, dengan bunga 8,1 persen untuk tenor 10 tahun. "Bunga surat utang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di Asia," ungkap Bhima. Efek lainnya, kata Bhima, realisasi pembayaran bunga utang pada tahun 2018 tembus diatas 108,2 persen dari target. Total realisasi bunga utang 2018 sebesar Rp258,1 triliun. "Ini menunjukkan kenaikan bunga utang akan menjadi beban bagi APBN di tahun berjalan," tutur Bhima. Bhima menambahkan bahwa utang pemerintah masih belum produktif. Karena efek dari naiknya utang pemerintah sebesar 10,5 persen di 2018 belum signifikan mendorong produktivitas ekonomi, misalkan pertumbuhan ekonomi masih berkisar 5,1 persen, dan pertumbuhan ekspor berada di 6,65 persen. Di sisi lain, papar Bhima, faktanya tidak semua utang pemerintah dikeluarkan untuk infrastruktur. Ini bisa dilihat dari tren belanja pembayaran bunga utang naik 86.9 persen, belanja barang naik 80,9 persen, dan belanja pegawai naik 40,5 persen dalam periode 2014-2018, sementara belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur kenaikannya hanya 31,4 persen. "Pemerintah gak bisa melihat hanya efek jangka panjang tapi diharapkan bisa mengoptimalkan dampak utang di jangka pendek. Postur belanja dari utang harus diefektifkan untuk pembangunan bukan lebih banyak masuk ke pos belanja konsumtif. Jika postur saat ini terus dibiarkan maka utang yang masuk lampu kuning bisa berubah menjadi lampu merah," jelas Bhima. "Jelang pemilu isu utang akan smakin memanas seiring pemerintah gencar terbitkan utang baru untk tutup defisit dan lunasi utang jatuh tempo," pungkas Bhima.(din/fin)
Sumber: