Warga Pesisir Selat Sunda Akan Direlokasi
JAKARTA – Pemerintah mempertimbangkan opsi untuk merelokasi pemukiman warga di sepanjang daerah terdampak tsunami Selat Sunda yang terjadi pada 22 Desember 2018 lalu. Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Dani H. Sumadilaga membenarkan bahwa ada rencana memindahkan warga di daerah yang terdampak tsunami. Hingga kini, rencana tersebut terus dimatangkan. “Di relokasi karena memang daerahnya berbahaya. Jadi kemungkinan terulang lagi (Bencana Tsunami,Red) masih ada,” kata Dani pada Jawa Pos kemarin (16/1). Hingga saat ini, pemerintah belum menentukan secara detail daerah mana saja yang akan direlokasi. Namun Danis menyebut setidaknya ada beberapa seperti wilayah pesisir Rajabasa hingga Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan, juga beberapa di daerah Pandeglang, termasuk diantaranya beberapa desa di Kecamatan Sumur. Danis juga mengatakan bahwa belum ada rencana detail untuk wilayah yang ditinggalkan. “Yang jelas tidak lagi boleh digunakan untuk pemukiman,” jelasnya. Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah mengatakan bahwa pemerintah daerah (Pemda) masing-masing akan bekerja untuk mencarikan lokasi yang cocok bagi warga yang terdampak relokasi. Sementara untuk rencana pemulihan pascabencana, Harmensyah mengatakan pemerintah akan membangun hunian sementara (huntara) maupun hunian tetap (huntap). Pemda masing-masing akan menyiapkan huntara. Sumber dananya dicarikan dari pihak ketiga. “Bisa dari Coorporate Social Responsibility (CSR), sementara untuk hunian tetap (huntap) akan dibantu pemerintah,” kata Harmensyah. Kapusdatin dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, rentetan bencana di indonesia merusak kawasan-kawasan pariwisata di seluruh indonesia. Ia menyebut, industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana, apabila tidak dikelola dengan baik, dampaknya akan mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja pariwisata. Sutopo menyebut, beberapa bencana malah menurunkan tingkat kunjungan wisatawan. Seperti Erupsi Gunung Merapi tahun 2010, yang mengakibatkan penurunan jumlah kunjungan wisatawan di beberapa obyek wisata di Yogyakarta dan Jawa Tengah sebanyak hampir 50 persen. Bencana kebakaran hutan dan lahan pada Agustus hingga September 2015 menyebabkan 13 bandara tidak bisa beroperasi karena jarak pandang pendek dan membahayakan penerbangan. Bandara harus tutup, berbagai event internasional ditunda, pariwisata betul-betul tertekan. ”Industri penerbangan, hotel, restoran, tour and travel, objek wisata dan ekonomi yang dimotori oleh sektor ini pun terganggu,” katanya. Selain itu, erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian mencapai Rp 11 trilyun. Gempa Lombok yang beruntun pada tahun 2018 juga menyebabkan 100.000 wisatawan berkurang dan kerugian Rp 1,4 trilyun di sektor pariwisata. Tsunami di Selat Sunda bukan pengecualian. Kerugaian ditaksir mencapai ratusan miliar. Bencana menyebabkan efek domino berupa pembatalan kunjungan wisatawan hingga 10 persen. Sebelum dilanda tsunami, tingkat hunian atau okupansi hotel dan penginapan di kawasan wisata Anyer, Carita, dan Tanjung Lesung mencapai 80–90 persen. Oleh karenanya, menurut Sutopo mitigasi baik struktural maupun non struktural harus segera dimatangkan. ”Sebab, dalam proses pembangunan setiap 1 US Dollar yang diivestasikan untuk pengurangan risiko bencana maka dapat mengurangi kerugian akibat bencana sebesar 7-40 US Dollar,” jelasnya.(tau)
Sumber: