Kasus 15 Tahun Lalu Digarap 15 Hari tanpa Klarifikasi

Rabu 22-03-2017,10:09 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

Audit kerugian negara terhadap penjualan aset di PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim sarat kejanggalan. Auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim ternyata menghitung kerugian negara hanya berdasar bukti yang disodorkan jaksa dan membaca berita acara pemeriksaan (BAP) para saksi yang diperiksa jaksa Kejanggalan tersebut menjadi perdebatan sengit dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya dengan terdakwa Dahlan Iskan kemarin (21/3). Rudy Hartanto, auditor dari BPKP Jatim, menjelaskan hasil dan cara penghitungannya di depan hakim. Rudy menyatakan, BPKP melakukan penghitungan kerugian negara atas permintaan penyidik Kejati Jatim. Dalam melakukan audit, dia hanya membaca BAP dan dokumen yang diberikan jaksa. Dia melakukan semua proses audit itu dalam waktu 15 hari saja. ''Kalau ada kekurangan data, kami minta ke penyidik,'' ungkapnya. Misalnya, terkait dengan penawaran harga aset PWU di Kediri dan Tulungagung. Rudy dalam auditnya menyebutkan bahwa penyimpangan terjadi sejak ada deal harga antara Dahlan dan Sam Santoso (pembeli aset) di Graha Pena Surabaya. Kesimpulan itu didapat dari keterangan Sam yang tertuang dalam BAP. Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, menanyakan keabsahan keterangan yang dinukil auditor tersebut. Sebab, sejauh ini, Sam tidak pernah dihadirkan dalam sidang. Keterangan Sam juga sudah dibantah Dahlan. Namun, oleh auditor, keterangan itu langsung dianggap benar dan dijadikan dasar dalam membuat kesimpulan. ''Terdakwa tidak pernah diklarifikasi tentang keterangan saksi itu,'' ujarnya. Mendengar pertanyaan itu, Rudy membutuhkan waktu untuk menjawab. Pria yang tinggal di Perumahan Sekardangan Indah C/1, Sidoarjo, itu hanya menjawab dengan menyebut setahu dia, saksi Sam sudah disumpah. Kejanggalan lain tampak ketika Rudy menyebut bahwa Sam menerima kuitansi pembayaran yang diberikan Dahlan. Namun, setelah dicecar tim pengacara, ahli BPKP itu ternyata mengaku bahwa bukti kuitansi tersebut tidak pernah diperlihatkan kepada dirinya. Sekali lagi, kesimpulan tersebut hanya didapat dari membaca BAP. Dalam sidang, Rudy juga menyebut penjualan aset PWU itu tidak punya izin dari DPRD. Namun, ketika ditanya pengacara apakah kesimpulan tersebut pernah dikonfirmasikan ke DPRD, dia menjawab dengan nada suara lebih rendah. ''Tidak pernah,'' ucapnya. Rudy menyatakan, dasar keterangannya yang menyimpulkan tidak adanya izin DPRD berasal dari resume pemeriksaan jaksa. Resume itu diberikan kepada Rudy saat memulai penghitungan. Ditanya soal alasan tidak meminta konfirmasi ke DPRD untuk mengecek ada tidaknya izin pelepasan aset, dia tidak memberikan jawaban langsung. ''Kami sudah melihat keterangan Jailani (Sekwan DPRD Jatim, Red),'' ucapnya kemudian. Rudy juga kesulitan menjawab pertanyaan tentang alasannya yang tidak meminta konfirmasi kepada Jailani terkait dengan izin DPRD. Padahal, dalam sidang sebelumnya, terungkap bahwa Jailani tidak mengetahui segala proses di DPRD Jatim ketika terjadi penjualan aset PT PWU. Proses penjualan itu terjadi dalam kurun 2002-2003, sedangkan Jailani baru bekerja di DPRD Jatim pada 2014. Fakta sidang juga menunjukkan, sebenarnya terdapat surat persetujuan pelepasan atau penjualan aset yang ditandatangani ketua DPRD Jatim saat itu, Bisjrie Abdul Djalil. Jawaban ahli membuat tim pengacara kesal. Sebab, ternyata auditor BPKP menyatakan adanya kerugian negara dalam penjualan aset PWU hanya bersumber dari membaca BAP saksi yang disediakan jaksa. ''Kalau seperti ini, Anda sama saja dengan tukang stempel,'' tegas Agus. Rudy tampak agak kecut mendengarnya. ''Tidak seperti itu,'' timpal Rudy dengan nada agak memelas. Imam Syafii, pengacara Dahlan lainnya, menyoroti profesionalitas auditor. Salah satunya karena Sam Santoso selaku pembeli aset PWU diperiksa ketika dalam keadaan sakit. Dalam salah satu bagian BAP, Sam menyebut diperiksa di kantor Kejati Jatim. Namun, dalam BAP yang sama pada bagian lain, ditulis pemeriksaan tersebut dilakukan di rumah Sam di Jalan Imam Bonjol, Surabaya. ''Anda kok tidak tergerak untuk mengklarifikasi hal ini? Ada apa ini?'' tanya Imam. Saat membacakan hasil auditnya, Rudy menyebut penjualan aset PWU melanggar kepmendagri dan perda pendirian perusahaan. Indra Priangkasa, pengacara Dahlan lainnya, mempertanyakan kepentingan dan kompetensi Rudy sehingga memberikan kesimpulan terkait dengan peraturan perundang-undangan. ''Padahal, Anda hanya diminta mengaudit kerugian negara,'' tanya Indra. Jawaban Rudy pun tidak berubah. ''Penyimpangan sudah dirumuskan penyidik,'' kata Rudy. Rudy sebenarnya sempat membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya pernah melakukan konfirmasi ke dispenda terkait dengan harga tanah di Kediri. Hanya, dia bingung ketika ditanya bukti konfirmasi tersebut. ''Tidak ada. (Konfirmasi, Red) hanya secara lisan,'' ucapnya. Tim pengacara terus mengejar alasan Rudy tidak melakukan klarifikasi bukti dari penyidik. Dengan bingung dia menyebut bahwa sebenarnya klarifikasi sudah dilakukan. Hal itu dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. ''Anda diskusinya dengan siapa? Terdakwa ini (Dahlan, Red) tidak pernah merasa Anda klarifikasi lho,'' tanya Pieter Talaway, salah seorang pengacara Dahlan. Setelah terpojok, Rudy akhirnya berkata jujur. ''Saya berdiskusi dengan penyidik,'' ucapnya. Jawaban itu spontan mengundang keriuhan di ruang sidang. ''Oooo, diskusi,'' ujar pengunjung sidang kompak. Bahkan, ada pengunjung yang menggunjing dengan menyebut bahwa auditor itu hanya menjalankan pesanan jaksa. Gunjingan itu pun akhirnya terbukti. Rudy menjelaskan bukti persetujuan pencairan dana yang diteken Dahlan. Bukti itu pun ditunjukkan Agus. Rudy menyatakan bahwa tanda tangan di surat tersebut asli. Namun, dia tiba-tiba bungkam saat ditanya tentang dasar keterangannya tersebut. ''Apakah Anda pernah diperlihatkan tanda tangan basahnya?'' tanya Agus. ''Tidak,'' jawab Rudy. Agus juga menunjukkan kejanggalan dalam surat persetujuan yang ada tanda tangan Dahlan. Di salah satu bagian surat tersebut, ternyata ada tambahan tulisan yang jenis hurufnya berbeda. Tempatnya di atas tanda tangan Dahlan. ''Ada font huruf yang berbeda di surat itu. Apa masih tidak tergerak untuk verifikasi?'' tanya Agus. Menanggapi hal itu, Rudy hanya membenarkan perbedaan huruf tersebut. Dia juga mengaku tidak melakukan verifikasi. ''Bagaimana profesionalitas dan hati nurani Saudara kalau seperti ini? Saudara tidak melakukan klarifikasi terhadap bukti-bukti penyidik, padahal audit Saudara ini menentukan nasib seseorang,'' tanya Agus. Mendengar hal tersebut, Rudy mengklaim bahwa bukti-bukti dari penyidik telah ditelaah dan dinilai benar. Menurut dia, para saksi yang memberikan keterangan dalam berita acara juga telah disumpah. Mendengar jawaban itu, Agus kembali melontarkan pertanyaan. ''Bagaimana jika keterangan saksi di BAP yang Saudara terima ternyata tidak berkesesuaian dengan fakta di persidangan?'' kejar Agus. Rudy sempat kesulitan menjawab. Dia lantas menyerahkan semua kepada hakim untuk menilainya. Termasuk menilai hasil auditnya. Entah karena ikut meragukan keterangan Rudy atau ada alasan lain, majelis hakim juga tak mengajukan satu pun pertanyaan. Meskipun keterangan Rudy banyak diragukan, Dahlan menanggapi dengan santai. Ketika diberi kesempatan oleh ketua majelis hakim untuk menanggapi keterangan Rudy, mantan menteri BUMN itu malah melontarkan pujian. ''Melihat penjelasan ahli tadi, dalam hati kecil saya kagum,'' ujar Dahlan. Sikap Dahlan itu langsung disambut tepuk tangan riuh oleh para pengunjung sidang dan wartawan. Setelah sidang, Dahlan dikerumuni wartawan. Para pewarta masih penasaran dengan sikap Dahlan terhadap Rudy. Menurut Dah­lan, dirinya kagum kepada Rudy karena bisa melakukan audit yang rumit dalam waktu 15 hari. ''Padahal, kasusnya ini kan sudah lama, sudah 15 tahun yang lalu,'' ujarnya diiringi senyumnya yang khas. Di sisi lain, jaksa Trimo mengklaim tak pernah mengintervensi auditor BPKP. Menurut suami Lilik Mujiati itu, komunikasi atau diskusi yang dibangun antara penyidik dan auditor adalah hal biasa. Sebab, bahan yang diberikan kepada auditor berasal dari penyidik sepenuhnya. ''Itu hal biasa. BPKP tetap independen, kok,'' ujar jaksa asal Ponorogo tersebut. Audit Keliru  Sementara itu, Prof Dr Mudzakir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, menyatakan, audit bisa saja keliru. Contohnya, jika penyidik sudah menyodorkan data ke auditor dan data itu dianggap benar. Penyidik kemudian meminta auditor menghitung jumlah kerugian. ''Audit seperti itu tidak termasuk dalam konteks pidana. Itu tata cara yang tidak benar menurut hukum,'' jelasnya. Sebab, yang dicari penyidik hanya audit yang bunyinya merugikan negara, sedangkan yang berbunyi menguntungkan negara tidak dimasukkan. Padahal, audit bersifat ilmiah berdasar ilmu audit. Artinya, semua diperiksa. ''Kalau hasilnya untung, ya untung. Kalau rugi, ya rugi. Kalau yang dihitung rugi saja, keliru. Itu melanggar asas praduga tak bersalah,'' tegasnya. Cara seperti itu tidak objektif. Sebab, seolah-olah rugi, padahal untungnya tidak dihitung. Proses audit yang tidak objektif tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti dalam perkara pidana. Ahli akuntansi forensik M. Achsin menambahkan, konfirmasi auditor ke tersangka maupun saksi lain sebenarnya sangat menentukan akurasi hasil audit kerugian keuangan negara. ''Agar auditor tidak terkesan sekadar menerima operan data dari penyidik,'' kata doktor yang mengambil disertasi visum akuntansi forensik dalam tindak pidana korupsi itu. Selama ini, Achsin memang banyak menemukan auditor BPKP yang terkesan pasrah bongkokan atau sekadar menerima bukti dari penyidik. Upaya konfirmasi biasanya tidak dilakukan. Padahal, ''Konfirmasi itu perlu untuk memastikan apakah PMH (perbuatan melawan hukum) kuat atau tidak." Fakta terjadinya perbuatan melawan hukum mutlak diperlukan auditor karena itu adalah kualifikasi untuk menghitung kerugian keuangan negara. (tel/che/rul)

Tags :
Kategori :

Terkait