JAKARTA – Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, hingga 2018, sebanyak 36,22 persen SD di Indonesia belum memiliki perpustakaan. Ketiadaan perpustakaan sekolah itu, juga pernah terjadi selama 14 tahun di SDN 173/V Tanjung Benanak yang berada di perkampungan transmigrasi SP3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Sejak berdiri tahun 1996 sampai 2011, sekolah ini tidak memiliki perpustakaan sekolah. “Keterbatasan ruang kelas dan tidak adanya buku bacaan membuat kami belum memikirkan perlu adanya perpustakaan sekolah,” kata Kartika Isnaini, Pustakawati SDN 173/V Tanjung Benanak saat memaparkan pengalamannya meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah pada acara Festival Perpustakaan Kemdikbud 2018, di Jakarta, kemarin. Inspirasi untuk membuat perpustakaan muncul pada akhir 2011 setelah sekolahnya mendapat bantuan buku bacaan dan pelatihan mengembangkan budaya baca dari Tanoto Foundation. “Kami memanfaatkan toilet rusak berukuran 2 x 3 meter direnovasi menjadi perpustakaan sekolah. Ukurannya kecil tetapi kami menggerakkan budaya baca melalui perpustakaan ini. Buku-buku bacaan mulai kami sebarkan ke pojok-pojok baca di semua kelas. Saya pustakawati yang mengatur sirkulasi pembaruan bukunya,” tuturnya. Kartika menyadari kunci keberhasilan meningkatkan budaya baca adalah penyediaan buku-buku bacaan baru yang berkelanjutan. Untuk itu dia bersama kepala sekolah dan para guru memikirkan cara untuk memperbarui buku disaat sekolah memiliki keterbatasan anggaran. Mereka mendapatkan empat gagasan yang langsung ditindaklanjuti. Pertama, mendatangi kepala desa setempat untuk mendapatkan pinjaman buku perpustakaan desa. Hasilnya, sekolah mendapatkan pinjaman 200 buku bacaan persemester. Kedua melibatkan alumni untuk menyumbang satu buku bacaan sebelum mereka lulus. Ketiga, menganggarkan dana BOS sekitar empat persen untuk membeli buku bacaan. Keempat, orang tua siswa dilibatkan untuk membelikan buku-buku kesukaan siswa. Buku itu setelah dibaca anaknya, mereka dapat saling bertukar buku dengan temannya. “Dari upaya ini, setiap semester kami mendapat sekitar 400an buku bacaan baru,” katanya lagi. Upaya kreatif tersebut membuat para siswa memiliki banyak pilihan buku untuk dibaca. Buku-buku tersebut disebar ke setiap kelas agar siswa lebih mudah membacanya. Sekolah juga membuat program kampanye membaca setiap hari. Program ini sudah dilakukan sejak tahun 2014 sebelum kebijakan membaca 15 menit dijalankan Kemdikbud. Setelah siswa senang dan terbiasa membaca, sekolah memiliki program untuk mendorong siswa lebih memahami isi buku yang dibaca. “Bentuknya dengan melatih siswa menulis, menceritakan kembali isi buku, menggambar tokoh buku dalam poster, atau membuat kegiatan bedah buku,” kata Kartika. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, hingga 2018, sebanyak 36,22 persen sekolah dasar di Indonesia masih belum memiliki perpustakaan. Ketiadaan perpustakaan sekolah itu, juga pernah terjadi selama 14 tahun di SDN 173/V Tanjung Benanak yang berada di perkampungan transmigrasi SP3 Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Sejak berdiri tahun 1996 sampai 2011, sekolah ini tidak memiliki perpustakaan sekolah. “Keterbatasan ruang kelas dan tidak adanya buku bacaan membuat kami belum memikirkan perlu adanya perpustakaan sekolah,” kata Kartika Isnaini, Pustakawati SDN 173/V Tanjung Benanak saat memaparkan pengalamannya meningkatkan kualitas perpustakaan sekolah pada acara Festival Perpustakaan Kemdikbud 2018, di Jakarta. Inspirasi untuk membuat perpustakaan muncul pada akhir 2011 setelah sekolahnya mendapat bantuan buku bacaan dan pelatihan mengembangkan budaya baca dari Tanoto Foundation. “Kami memanfaatkan toilet rusak berukuran 2 x 3 meter direnovasi menjadi perpustakaan sekolah. Ukurannya kecil tetapi kami menggerakkan budaya baca melalui perpustakaan ini. Buku-buku bacaan mulai kami sebarkan ke pojok-pojok baca di semua kelas. Saya pustakawati yang mengatur sirkulasi pembaruan bukunya,” tuturnya. Kartika menyadari kunci keberhasilan meningkatkan budaya baca adalah penyediaan buku-buku bacaan baru yang berkelanjutan. Untuk itu dia bersama kepala sekolah dan para guru memikirkan cara untuk memperbarui buku disaat sekolah memiliki keterbatasan anggaran. Mereka mendapatkan empat gagasan yang langsung ditindaklanjuti. Pertama, mendatangi kepala desa setempat untuk mendapatkan pinjaman buku perpustakaan desa. Hasilnya, sekolah mendapatkan pinjaman 200 buku bacaan persemester. Kedua melibatkan alumni untuk menyumbang satu buku bacaan sebelum mereka lulus. Ketiga, menganggarkan dana BOS sekitar empat persen untuk membeli buku bacaan. Keempat, orang tua siswa dilibatkan untuk membelikan buku-buku kesukaan siswa. Buku itu setelah dibaca anaknya, mereka dapat saling bertukar buku dengan temannya. “Dari upaya ini, setiap semester kami mendapat sekitar 400an buku bacaan baru,” katanya lagi. Upaya kreatif tersebut membuat para siswa memiliki banyak pilihan buku untuk dibaca. Buku-buku tersebut disebar ke setiap kelas agar siswa lebih mudah membacanya. Sekolah juga membuat program kampanye membaca setiap hari. Program ini sudah dilakukan sejak tahun 2014 sebelum kebijakan membaca 15 menit dijalankan Kemdikbud. Setelah siswa senang dan terbiasa membaca, sekolah memiliki program untuk mendorong siswa lebih memahami isi buku yang dibaca. “Bentuknya dengan melatih siswa menulis, menceritakan kembali isi buku, menggambar tokoh buku dalam poster, atau membuat kegiatan bedah buku,” kata Kartika. (jpnn/mas)
36 Persen SD Tak Miliki Perpustakaan
Senin 03-12-2018,03:26 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :