Kenaikan UMP 2019 Jadi Ancaman Industri

Selasa 13-11-2018,03:38 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA - Meski ada penolakan dari sebagian serikat pekerja, sejumlah provinsi telah mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 sesuai dengan patokan pemerintah yaitu 8,03%. Menurut Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri, sebanyak 26 dari 34 provinsi telah menyerahkan laporan penetapan UMP 2019. Sedangkan delapan provinsi lainnya sudah mengumumkan besaran UMP, belum melaporkan ke Kementerian Ketenagakerjaan karena belum ditandatangani oleh gubernur. Perhitungan besaran kenaikan UMP seperti diatur dalam PP No 78/2015, kenaikan UMP didasarkan atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai asumsi kenaikan upah tahun depan, pemerintah menggunakan asumsi inflasi sebesar 2,88% dan pertumbuhan ekonomi 5,15%. Sebelum PP Nomor 78 Tahun 2015 berlaku, perhitungan UMP dihitung sesuai survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL). "Salah satu fungsi PP No 78/2015 adalah memastikan pekerja mendapat kenaikan upah setiap tahun. Tidak perlu demo, tidak perlu rame-rame, tidak perlu ribut terus. Alhamdulilah, tahun depan naik 8,03%,” ujar Hanif, dikutip dari Harian Neraca, Jakarta, Senin (12/11). Dari kacamata pengusaha, perhitungan kenaikan UMP berdasarkan PP No 78/2015 dipandang lebih memberikan kepastian daripada rumusan kenaikan UMP sebelumnya. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan perhitungan dalam beleid tersebut telah mempertimbangkan usulan dari sisi pengusaha. Untuk itu, ia mendorong seluruh pelaku usaha mengikuti ketetapan tersebut. "Pada prinsipnya, kami sebagai asosiasi pengusaha mendukung PP 78/2015, sehingga kami mendorong semua perusahaan untuk mengikuti kenaikan dan penyesuaian kenaikan berdasarkan PP 78/2015," ujarnya. Namun demikian, Shinta tidak menampik kewajiban kenaikan UMP membebani dunia usaha di tengah ketidakpastian global. "Tapi itu konsekuensi yang harus diambil oleh pengusaha bagaimana kami tetap mengikuti. Kalau memang nanti ada perusahaan yang mungkin berat itu ada mekanismenya sendiri," ujarnya. Senada dengan Shinta, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyebut perhitungan kenaikan UMP lebih rasional. Menurutnya perhitungan kenaikan besaran UMP saat ini mampu menjembatani dua belah pihak baik pengusaha maupun pekerja. "Untuk industri kami tahu kepastian forecasting-nya (prediksi) dan untuk buruh ia juga tahu berapa naik," ujar Ade. Meski demikian, Ade menyebut ada empat daerah padat karya yang perlu penyesuaian, yakni Bogor, Purwakarta, Bekasi, dan Karawang. Keempat daerah itu memiliki basis upah minimum tinggi yang merupakan lanjutan dari penetapan upah sebelum PP 78/2015 berlaku. "Empat kabupaten itulah yang kenaikan berapa pun tidak acceptable (diterima) untuk industri padat karya, karena dasar upahnya sudah terlalu tinggi," ujarnya. Faktanya, kenaikan UMP sebelum PP 78/2015 terbilang cukup tinggi. Di tahun 2012, rata-rata kenaikan UMP tercatat 10,27%, tahun berikutnya kenaikan lebih besar lagi, yakni 18,32%. Setelah pemberlakuan PP 78/2015 tren kenaikan UMP cenderung turun. UMP 2016 silam naik 11,5%, kemudian 2017 naik 8,91% dan menurun lagi pada tahun ini yakni 8,71%. Tingginya upah untuk kawasan padat karya tersebut, membuat beberapa industri memilih hengkang atau relokasi. Mereka mencari wilayah baru dengan UMP lebih rendah sehingga harga produk lebih kompetitif. Ade memaparkan akibat fenomena relokasi industri itu, industri garmen di Karawang yang awalnya mencapai puluhan kini hanya tersisa tiga. "Industri hengkang dari situ karena tidak kondusif. Untuk produk yang sama dengan industri yang ada di Tasikmalaya, Majalengka, atau di Jawa Tengah" ujarnya. Untuk itu, pihaknya tengah berupaya meminta dispensasi kepada pemerintah terkait kenaikan UMP. Paling tidak, dalam kurun waktu satu tahun hingga industri bisa merelokasi tempat usahanya. Pihaknya mengajukan dispensasi dalam bentuk upah khusus atau upah padat karya. "Harus ada moratorium (kenaikan UMP) untuk empat kabupaten itu, tapi moratorium adalah solusi yang mengundang risiko sehingga diperlukan istilah baru yaitu upah minimum padat karya," tutur Ade. Menurut pengamat ekonomi FEB-UI Fithra Faisal Hastiadi, perkembangan upah yang cenderung dinamis belum diikuti dengan perbaikan produktivitas pekerja. Fithra menyebut ada kesenjangan cukup lebar antara pertumbuhan upah yang rata-rata di angka 8-9% per tahunnya dengan produktivitas pekerja yang masih di posisi 3%. "Kenaikan produktivitas tidak mendukung kenaikan upah sehingga segalanya menjadi lebih mahal buat industri dan mereka harus relokasi," ujarnya.(Feb/okz)

Tags :
Kategori :

Terkait