JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018. Surplus tersebut tersebar di 14,1 juta rumah tangga produsen. Hasil tersebut diperoleh dengan menggunakan metode kerangka sampel area (KSA) untuk melakukan penghitungan luas panen gabah kering giling (GKG) untuk kemudian dikonversi menjadi proyeksi produksi beras secara nasional. "Kami menggunakan sebuah metode yang namanya kerangka sampel area merupakan inovasi yang dilakukan BPPT dan sudah mendapat penghargaan dari LIPI," kata Kepala BPS Suhariyanto saat menghadiri rapat terbatas terkait penyempurnaan metode produksi beras yang dipimpin Wapres Jusuf Kalla, kemarin. Menurut dia, selama ini BPS telah melakukan perbaikan metode penghitungan proyeksi produksi beras tersebut bekerja sama dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Suhariyanto menjelaskan, pembaruan informasi luas lahan bahan baku sawah pada 2018 mencapai 7,1 juta hektare. Angka tersebut mengalami penurunan sekitar 635 ribu hektare. "Ini akan menjadi dasar penghitungan untuk mengestimasi angka produksi dan saya summary-kan dengan luas bahan baku sawah 7,1 juta hektare dan menggunakan metode KSA. Maka luas panen padi pada 2018 diperkirakan 10,9 juta hektare," ujar Suhariyanto. Dari hasil panen tersebut, lanjutnya, produksi padi dalam bentuk GKG diperkirakan sebanyak 56,54 juta ton atau setara dengan 32,42 juta ton beras. Sementara itu, angka konsumsi beras rata-rata per provinsi pada 2017 sebesar 117,58 kg per kapita per tahun atau setara dengan total konsumsi 29,50 juta ton secara nasional. “Jadi dari perhitungan tersebut, Indonesia mengalami surplus beras 2,85 juta ton selama 2018”, jelasnya. Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, paparan BPS yang menegaskan Indonesia mengalami surplus produksi beras ini memang sebuah prestasi. “Ini prestasi pemerintahan Jokowi, khususnya prestasi Kementerian Pertanian di bawah komando Menteri Amran dan prestasi para petani,” ujar Hendri. Dia menambahkan, apa yang telah diupayakan oleh Kementan dengan terus menggenjot produksi ini menimbulkan kenyamanan. “Walau dari beberapa survei ekonomi negara kita mengalami kesulitan, namun dengan surplus beras ini, rakyat tidak lagi takut akan kekurangan beras”, imbuhnya. Menurut dia, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana distribusi surplus beras ini memang benar-benar bisa dinikmati oleh rakyat. “Dengan data kuat seperti ini harusnya sisi lain sektor pemerintah di bidang perdagangan segera berkoordinasi dengan Kementan sehingga tidak ada lagi polemik tentang harus atau tidaknya mengimpor beras”, tegasnya. Surplus beras ini , kata Hendri, bisa menjadi rujukan kuat karena metodenya telah disempurnakan oleh BPS sehingga seharusnya memang Indonesia tak perlu impor beras lagi. Pengamat politik dan kebijakan publik Muh. Saifullah menilai apa yang disampaikan BPS terkait produksi beras nasional akan mengakhiri polemik yang selama ini terus terjadi. “Apa yang diproyeksikan Kementerian Pertanian bahwa kita memang sedang mengalami surplus beras itu memang benar. Data dari BPS seharusnya menjadi acuan bersama semua institusi terkait untuk mengeluarkan kebijakan”, katanya. Muh.Saiful juga menilai surplus beras ini menjadi salah satu prestasi terbesar pemerintah dan Menteri Amran dalam kurung waktu empat tahun pemerintanan Jokowi. “Ini layak diapresiasiasi bahwa segala upaya dan kerja keras Kementerian Pertanian akhirnya membuahkan hasil yang cukup besar. Ini merupakan kado istimewa empat tahun pemerintahan Jokowi,” ujarnya. (adv/jpnn)
RI Surplus Beras 2,85 Juta Ton
Rabu 24-10-2018,03:56 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :