Pelemahan Rupiah Kikis Cadangan Devisa

Kamis 11-10-2018,03:32 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

Jakarta--Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kian melorot sejak awal tahun. Rupiah bahkan sempat mencapai titik terendahnya di level Rp15.284 per dolar AS, terlemah sejak 20 tahun terakhir. Berbagai upaya telah dilakukan oleh otoritas moneter untuk menjaga nilai tukar rupiah. Pertama, yakni menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 150 basis poin sepanjang tahun ini. Kedua, melakukan intervensi, baik di pasar modal maupun di pasar valuta asing. Untuk melakukan intervensi, BI tentu harus punya modal yang mumpuni dalam bentuk pasokan valas atau biasa disebut cadangan devisa. Sebab, ketika permintaan dan penawaran dolar AS tidak seimbang, BI harus menjual dolar AS agar suplainya di pasar valas bisa memenuhi permintaan. Intervensi yang terus-terusan dilakukan BI untuk menahan pelemahan rupiah pun membuat cadangan devisa saat ini kian tergerus. Di tahun ini, posisi cadangan devisa Indonesia memang sempat menyentuh rekor tertinggi, yaitu US$131,98 miliar pada Januari lalu. Namun, delapan bulan kemudian, cadangan devisa menyusut jadi US$114,8 miliar, atau terkuras 13 persen. Cadangan devisa seharusnya tetap kokoh mengingat tekanan rupiah akan semakin berat seiring sinambungnya kenaikan suku bunga acuan AS Fed Rate, bahkan diprediksi hingga tahun depan. Namun, kemampuan memupuk devisa juga terbatas lantaran posisi neraca pembayaran Indonesia yang mencatat defisit. Data BI hingga kuartal II lalu mencatat neraca pembayaran defisit US$4,3 miliar. Utamanya disebabkan oleh defisit transaksi berjalan yang menembus US$8 miliar, seiring neraca perdagangan sepanjang kuartal II juga tak menunjukkan angka yang kinclong. Dalam skenario terburuk, BI harus melakukan intervensi menggunakan cadangan devisa yang ada saat ini guna menahan tekanan rupiah. Namun, cukup kah cadangan devisa menyokong rupiah yang kemungkinan masih akan terus tertekan? Ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan saat ini cadangan devisa yang dimiliki Indonesia masih mampu menstabilkan rupiah setidaknya hingga akhir tahun ini. Sebab, kecukupan devisa Indonesia per September bisa mencukupi kebutuhan impor setara enam bulan. Namun, bukan berarti BI bisa mengeluarkan devisa dengan seenaknya. Ia meminta BI untuk benar-benar mencermati risiko ke depan serta memperhitungkan cadangan devisa yang dibutuhkan agar amunisinya tetap kokoh di tengah perang melawan depresiasi nilai tukar. "Cadangan devisa juga akan semakin tergerus oleh upaya BI menahan pelemahan rupiah. BI harus benar-benar berhitung secara cermat agar jangan kehabisan napas nanti," ungkap Piter. Ia menilai BI sudah dianggap tepat dalam menggunakan cadangan devisa meski memang depresiasi tak bisa dibendung. Menurut dia, pengeluaran devisa BI sebanyak US$17,11 dalam sembilan bulan untuk stabilisasi rupiah mencukupi. Dengan penakaran devisa yang terukur, ia memprediksi cadangan devisa di akhir tahun akan berada di kisaran US$110 miliar. Meski kian menyusut, Piter berharap masyarakat paham bahwa rupiah justru akan semakin terpuruk jika BI tak melakukan intervensi. "Saya kira BI sudah cukup pengalaman mengelola cadangan devisa dan penurunan cadangan devisa masih sangat terkontrol," imbuh dia. Senada dengan Piter, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan posisi cadangan devisa per September 2018 juga dianggap masih aman untuk melakukan intervensi pasar valas ke depan. Sebab, posisi cadangan devisa yang setara 6,3 bulan impor berada di atas standar kecukupan internasional yakni tiga bulan impor. Ia juga menilai langkah intervensi BI saat ini sudah cukup terukur. Sebab, jika tanpa intervensi, ia yakin nilai tukar rupiah mungkin sudah menembus Rp15.600 hari ini. Kendati demikian, BI tetap harus bisa menghemat devisa dan tak terlalu agresif dalam mengintervensi rupiah karena tekanan yang masih mungkin berlanjut. "Jadi upaya stabilitas rupiah sekarang lebih ke menahan pelemahan dibandingkan menargetkan rupiah kuat kembali dibawah Rp15 ribu. BI memang tidak keluarkan semua devisa karena mempersiapkan shockyang lebih besar," kata dia. Meski terbilang cukup, bukan berarti cadangan devisa Indonesia masih aman. Bhima kemudian menyoroti rasio cadangan devisa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya 14 persen. Nilai ini lebih kecil dibandingkan Filipina sebesar 28 persen atau Thailand sebesar 58 persen. Rasio itu diprediksi akan semakin kecil karena ia meramal cadangan devisa akan ada di posisi US$106 miliar di akhir tahun mendatang. Cadangan devisa, imbuh dia, akan konsisten tergerus US$2 miliar hingga US$3 miliar per bulan jelang pengumuman The Fed berikutnya di Desember. "Melihat rasio tersebut, artinya bisa dikatakan bahwa size market Indonesia yang besar, kemampuan untuk menahan shock eksternal justru kecil," jelas dia. Maka dari itu, dibutuhkan berbagai upaya kilat demi menabung cadangan devisa. Saat ini, pemerintah sebenarnya telah mempersiapkan beberapa instrumen kebijakan seperti kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor bagi 1.147 pos tarif dan pencampuran 20 persen biodiesel terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar (B-20) agar neraca perdagangan bisa membaik. Hanya saja, dampaknya mungkin tak bisa dirasakan sesegera mungkin. Bhima mengatakan, ada empat langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah demi menumpuk devisa. , pemerintah harus berani mengendalikan impor 10 barang terbesar lewat kenaikan bea masuk dan kebijakan anti dumping. Contohnya, adalah impor besi baja dari China yang terindikasi dumping dan merugikan produsen domestik. Kedua, pengusaha harus diberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada agar mau menukarkan Devisa Hasil Ekspor ke rupiah. "Sekarang baru 13 persen yang dikonversi ke rupiah. Sisanya dalam bentuk valas," jelasnya. Ketiga, mengurangi pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) mengingat minyak kelapa sawit adalah penyumbang devisa non-migas terbesar. Kebijakan ini berguna di tengah hambatan bea masuk impor sawit ke beberapa negara, sehingga jika pungutan ekspor direlaksasi sementara, maka ekspor sawit diharapkan bisa menekan defisit perdagangan dan menguatkan kurs rupiah. Yang terakhir, pemerintah seharusnya menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ekspor jasa yang saat ini dipatok 10 persen, khususnya di jasa informasi dan teknologi dan pariwisata. "88 negara dari 120 negara di dunia sudah menerapkan tarif ekspor jasa nol persen. Kalau tidak segera menyesuaikan, Indonesia akan kehilangan peluang ekspor jasa," pungkasnya.(cnn)

Tags :
Kategori :

Terkait