Gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) menimbulkan kerusakan dan kerugian triliunan rupiah. Gempa juga membuat lahan sawah bergeser sampai 2 kilometer dari posisinya semula. Namun, bentuknya tak berubah. RIDWAN MARZUKI-NURHADI—Sigi-Palu Kerumunan orang berkumpul di sepanjang jalan menuju Desa Mpanau, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulteng. Masing-masing memegang spanduk dari kardus bekas. Isinya, permohonan bantuan. Sejak gempa melanda, Jumat, 28 September, mereka belum juga menerima bantuan. Lapar memaksa mereka turun jalan. Berharap iba pengguna jalan. Di ujung jalan yang sedikit membukit, akses terputus. Gunung lumpur mulai terlihat. Sejajar dengan atap rumah yang masih berdiri di ujung kiri. Rumah itu kukuh. Beruntung, material menghalangi lumpur menerjangnya. Rumah terlindungi. Namun, rupanya itu baru bagian dasar lumpur. Makin ke dalam, makin tinggi. Ada dua kampung di sini. Beda kabupaten. Yang lebih banyak dikenal hanya Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Palu. Padahal, daerah arsirannya berbatasan langsung dengan Desa Mpanau, Kecamatan Sigibiromaru, Kabupaten Sigi itu. Keduanya hanya di antarai sebuah jalan. Jalan desa. Jalan itu berada di tengah-tengah. Kini, jejak jalanan itu telah tiada. Di sini, topografi berubah. Bagian di atas ke bawah, yang di bawah ke atas. Pergeseran tanah sangat rumit, kacau. Ibarat adonan yang telah di-mixed. Ada dua akses menuju lokasi terparah bencana Sulteng ini. Ke kiri, masuk ke Mpanau atau ke kanan, masuk ke Petobo. Tak bisa lurus karena lumpur telah memblokade. Saya memilih mengambil jalanan ke kiri. Sebuah jalanan kecil, hanya satu mobil bisa lewat. Karena agak jauh memutar untuk sampai ke lokasi, saya menyeberangi sebuah kuburan. Sebuah jalan pintas yang memperpendek langkah dua kali lipat. Memanjat di beberapa dahan dan meterial sisa gempa, saya tiba di sebuah lahan. Sudah ada atap rumah panggung terlihat. Nyaris sejajar dengan lumpur. Saya bertumpu di situ. Karena kaki tak lagi bisa melangkah akibat adangan lumpur, saya kembali. Memutar ke jalanan sebelumnya. Lantas, bertemu Basri (71), warga keturunan Sidrap yang telah lama tinggal di Sigi. “Banyak keluarga kasian tinggal di sini. Belum ada kabarnya sama sekali,” urai Basri yang datang dengan celana pendek dipadukan baju lengan panjang. Banyak anggota keluarganya tinggal di situ. Kebetulan, ponakannya punya usaha ayam potong. Ada karyawannya yang juga masih keluarga sendiri. “Baru ka bisa ke sini, baru bisa dapat bensin,” imbuh Basri dengan helm putih masih terpasang di kepalanya. Murni (45), istrinya, menemani. Dari pihak keluarganya lah ponakan yang dimaksud itu. Ponakannya sudah punya anak. Cucu Murni. “Semoga kasian selamat ji,” harap perempuan yang datang dengan jilbab panjang merah tua lusuh itu. Wajahnya berkerut. Ketika menyaksikan lumpur telah meratakan seluruh permukiman di Petobo-Mpanau. Kakinya tertahan, tak sanggup melangkah. Perempuan asal Kajuara, Bone, ini memanjatkan doa. Berharap ponakan dan cucunya hanya mengungsi, bukan tertelan lumpur. Iwan (43), saksi mata gempa yang membolak-balikkan dua kampung itu, kesulitan menggambarkan detik-detik peristiwa tak terlupakan itu. Rumahnya berada di deretan kedua dari jalur aliran lumpur. “Betul-betul ajaib ini, pak. Ada sawah yang pindah sampai dua kilometer, malah bentuknya tidak berubah. Itu di sana,” Iwan menunjuk ke arah lumpur yang masih banyak tanaman padinya. Iwan bukan tak panik. Dia justru berupaya mundur perlahan. Sembari terus menyaksikan pergerakan tanah di dua kampung itu. “Yang di sini pindah ke bawah, yang di bawah pindah ke bawah lagi. Itu jalanan tergulung-gulung,” urainya. Iwan juga menyaksikan ada warga yang memanjat pohon kelapa dan memeluknya, untuk menghindari terjangan lumpur. Namun, saat bersamaan, bumi seperti ditelan, lalu dimuntahkan lagi. “Menangis saya saat itu. Ya Allah, separah itu. Kayak diblender ini kampung,” katanya lagi. (*)
Dua Desa Terkubur Lumpur, Hanya Sedikit Selamat
Jumat 05-10-2018,05:01 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :