Jakarta -- Pemerintah berencana mematok tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor tertinggi sebesar 10 persen pada produk hilir, seperti barang jadi dan konsumsi. Sementara, komoditas jenis bahan baku dan penolong dikenakan tarif impor lebih rendah, yakni 2,5 persen. "Kami kaji beberapa kode HS. Jadi, untuk bahan baku dan penolong, kami pilih yang lebih rendah. Untuk barang antara 7,5 persen dan produk hilir 10 persen," ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (3/9). Kendati begitu, kepastian tarif berdasarkan kode HS komoditas masih terus dibahas pemerintah dan akan difinalkan pada bulan ini agar kebijakan dapat segera diimplementasikan. Tujuannya, agar segera memberi dampak pada pemulihan defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, kebijakan pengenaan tarif PPh impor pada komoditas impor sejatinya sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2017. Namun, demi memulihkan defisit transaksi berjalan, maka daftar komoditas impor itu ditinjau kembali. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga memastikan bahwa komoditas impor yang pengenaan tarif PPh impor dipilih dengan mempertimbangkan beberapa aspek di luar jenis barang. Pertimbangan itu, yakni kemampuan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memproduksi barang tersebut, penciptaan efek penggandanya (multiplier effect), dan kemampuan produksi dalam negeri. Rencana pengenaan PPh 10 persen untuk produksi hilir ini mendapat tanggapan dari Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI). GINSI meminta pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan impor dengan menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor secara bertahap. Sebab, ketika barang impor dibatasi secara serentak, industri dalam negeri dikhawatirkan belum siap dalam memproduksi barang substitusi. Ketua Umum GINSI Anton Sihombing menuturkan pembatasan impor seharusnya juga harus berbanding dengan suplai domestik. Jika tidak, kenaikan PPh impor justru dianggap kurang efektif. Maka itu, ia meminta pemerintah benar-benar mengidentifikasi dan inventarisasi jenis produk yang sedianya terkena kenaikan PPh impor. Dengan demikian, ia juga berharap pemangku kebijakan juga benar-benar mengerti permasalahan ekonomi saat ini, sehingga kebijakan yang diambil bisa efektif. "Harusnya memang bertahap, jangan sekaligus semuanya. Makanya inventarisasi dan identifikasi produk yang kena kenaikan PPh impor ini benar-benar dikaji betul. Dilihat, apakah suplai dalam negeri sudah memadai," jelas Anton seperti dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (30/8) lalu. Ia juga berharap pemerintah berlaku adil dalam mengenakan PPh impor. Misalnya, barang konsumtif yang bersifat mewah itu memang perlu dinaikkan pajaknya. Namun, barang konsumsi untuk kepentingan masyarakat seperti bahan pangan jangan dibebankan kenaikan PPh impor. Sebab, ini juga demi mendukung daya beli dan bisa menahan inflasi. Maka itu, Anton berharap asosiasi dilibatkan dalam penyusunan daftar pembatasan impor ini agar jenis barang yang dibatasi ini jangan sampai merugikan masyarakat. Kendati demikian, ia melihat itikad baik pemerintah dalam menaikkan tarif PPh impor yang rencanannya akan menyentuh 900 barang konsumsi. Menurutnya, momen depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal tahun benar-benar membuka mata pemerintah bahwa Indonesia tak boleh lagi ketergantungan barang impor. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus punya strategi dan niat dalam meningkatkan produksi dalam negeri.(cnn)
Produk Hilir Bakal Kena PPh 10%
Selasa 04-09-2018,05:13 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :