Segera Usut TPPU Setnov

Rabu 25-04-2018,07:20 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

Setya Novanto (Setnov) mencatat sejarah. Dia menjadi mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pertama yang divonis bersalah melakukan korupsi di pengadilan tipikor. Itu setelah majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kemarin (24/4) memvonis Setnov bersalah dalam perkara rasuah proyek KTP-el tahun anggaran 2011-2012. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih punya pekerjaan rumah (PR) setelah putusan Setnov dibacakan. KPK harus menelusuri lebih luas perbuatan korupsi Setnov selain penerimaan uang USD 7,3 juta yang didalilkan hakim kemarin. Cara satu-satunya adalah, KPK mesti mengungkap di mana uang-uang itu dengan jeratan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pengembangan kearah TPPU sudah dilakukan sejak awal. Nah, dengan adanya putusan hakim kemarin, dugaan money laundering yang dilakukan Setnov tentu akan diproses oleh KPK. “Sejak tuntutan diajukan kami sudah sampaikan, jika ada bukti yang kuat adanya upaya penyamaran uang hasil korupsi tentu akan diproses,” kata Agus kepada Jawa Pos. Bukan hanya TPPU, KPK juga harus segera memproses pihak-pihak yang diduga menerima aliran dana KTP-el seperti disebutkan dalam putusan hakim kemarin. Diantaranya, politikus Partai Hanura Miryam S. Haryani dan politikus Partai Golkar Ade Komaruddin. Ada pula nama politikus partai Demokrat M. Jafar Hafsah. “JPU akan pelajari dan nanti dianalisis,” imbuh dia. Agus pun kembali menegaskan, pihaknya tetap akan memproses pihak-pihak terkait yang diduga terlibat dalam korupsi proyek KTP-el. Dia kembali menyebut, perkara KTP-el tidak akan berhenti pada Setnov. “Kasus ini ditangani dalam kondisi KPK menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan, namun bisa selesai akibat kerja keras tim di penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,” ujarnya. Di luar itu, Agus mengapresiasi putusan hakim kemarin. Sebab, dalam amar putusannya, hakim mengabulkan tuntutan jaksa terkait pencabutan hak politik dan uang pengganti sebesar USD 7,3 juta dikurangi Rp 5 miliar. “Meskipun ancaman hukuman masih selisih satu tahun, tapi kami apresiasi putusan hakim karena tuntutan KPK tentang uang pengganti dikabulkan,” ujarnya. Dorongan agar KPK segera mengusut pihak-pihak lain yang terlibat dalam korupsi KTP-el disampaikan aktivis pegiat antikorupsi. Mereka menyebut fakta-fakta persidangan yang disebutkan dalam putusan kemarin patut ditelusuri lebih jauh oleh KPK. “KPK juga masih harus menyidik TPPU yang dilakukan Setya Novanto,” kata Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S. Langkun. Di sisi lain, Partai Golkar mengirimkan simpati atas jatuhnya vonis terhadap Setnov. Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily menyampaikan prihatin atas vonis 15 tahun terhadap mantan Ketua Umum Partai Golkar itu. “Soal vonis yang tidak sesuai harapan pak Novanto, semua dikembalikan kepada pak Novanto dan penasehat hukumnya,” kata Ace. Menurut Ace, Setnov bisa saja mengambil langkah hukum dengan melakukan banding. Namun, keputusan banding juga dikembalikan pada Setnov. “Apapun keputusan yang diambil Pak Novanto, kami hanya bisa mendoakan agar Pak Novanto tabah dan sabar dalam menghadapi kasus hukumnya,” ujarnya. Dalam kasus KTP-el, majelis hakim yang diketuai Yanto menjatuhkan hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Setnov. Serta membayar uang pengganti USD 7,3 juta atau sekitar Rp 101 miliar dikurangi Rp 5 miliar (uang yang dikembalikan ke KPK) yang harus dibayarkan satu bulan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht). Apabila uang pengganti itu tidak dibayar, aset Setnov akan disita dan dilelang oleh negara sebagai gantinya. “Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka terdakwa (Setnov) dipidana penjara selama dua tahun,” ujar Yanto dalam amar putusan yang dibacakan di persidangan. Bukan hanya itu, mantan ketua umum Partai Golkar itu juga divonis pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun. “(Pencabutan hak politik) terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan,” imbuh ketua PN Jakarta Pusat tersebut. Hal meringankan menurut hakim lantaran Setnov berlaku sopan selama di persidangan. Vonis penjara Setnov kemarin lebih ringan satu tahun dibanding tuntutan jaksa sebelumnya. Begitu pula dengan pidana denda yang separo lebih sedikit. Sebelumnya, jaksa menuntut Setnov pidana penjara 16 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Mendengar putusan itu, Setnov mengaku shock. Dia menyebut pertimbangan hakim tidak sesuai dengan fakta persidangan. Meski demikian, suami Deisti Astriani Tagor itu tetap menghormati putusan hakim. Dia masih akan berkonsultasi dengan pihak keluarga sebelum memutuskan untuk banding atau menerima putusan tersebut. “Saya lagi minta waktu untuk pelajari dan konsultasi dengan keluarga,” tuturnya usai sidang. Meski divonis bersalah, Setnov tetap mengaku tidak tahu soal penerimaan uang USD 7,3 juta yang disebut sebagai kerugian negara. Hal itulah yang membuat bapak dua anak itu kaget ketika mendengar putusan hakim. “Dari awal tidak pernah mengikuti dan tidak mengetahui (uang USD 7,3 juta), dan tentu inilah yang saya kaget,” papar politikus kelahiran Bandung itu. Dalam putusan kemarin, hakim mendalilkan adanya 41 fakta hukum yang terungkap selama persidangan. Fakta itu diantaranya terkait sejumlah pertemuan Setnov dan pejabat Kemendagri serta beberapa pengusaha konsorsium proyek KTP-el. Fakta lainnya berkaitan dengan kronologi penerimaan uang USD 7,3 juta untuk Setnov melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dan Made Oka Masagung. Selain itu, hakim juga mendalilkan bahwa semua unsur dalam dakwaan kedua, yakni pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi, telah terpenuhi menurut hukum. Unsur setiap orang, misalnya, dianggap terpenuhi lantaran Setnov merupakan anggota DPR dan ketua Fraksi Partai Golkar saat kasus bergulir. “Siapa saja dapat didakwakan,” kata hakim anggota Emilia Djaja Subagia. Sedangkan terkait unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, hakim menyebut unsur tersebut terpenuhi seiring fakta hukum dan alat bukti yang menyebut bahwa Setnov melakukan intervensi dalam penganggaran proyek KTP-el senilai Rp 5,9 triliun tahun anggaran 2011-2012. Begitu pula dengan unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Menurut hakim, sebagai anggota DPR dan ketua Fraksi Partai Golkar, Setnov terbukti melakukan beberapa hal yang bertentangan dengan kewenangannya. Misal bertemu dengan pejabat Kemendagri dan Andi Agustinus alias Andi Narogong di Hotel Gran Melia. Selain ketiga unsur itu, hakim juga mendalilkan bahwa unsur merugikan keuangan negara terpenuhi menurut hukum. Hal itu merujuk pada penghitungan kerugian keuangan negara proyek KTP-el sebesar Rp 2,3 triliun yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Semua unsur telah terpenuhi secara hukum,” kata hakim anggota Anwar. Bukan hanya unsur dalam pasal 3, hakim juga menilai pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terpenuhi menurut hukum. Setnov dianggap terbukti bersama-sama Andi Narogong, Irman (mantan Dirjen Dukcapil) dan Sugiharto (mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan). Pihak yang dianggap bersama-sama itu telah divonis hakim di penuntutan sebelumnya. Terkait uang korupsi sebesar USD 7,3 juta, argumentasi hakim serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Hakim menyebut uang itu secara tidak langsung diterima Setnov melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Setnov) dan Made Oka Masagung (rekan Setnov). “Sebagaimana fakta yang terungkap, itu (penerimaan uang ke Irvanto dan Made Oka) adalah perintah dan keinginan terdakwa Setya Novanto, karena ada kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya,” terang Anwar. Atas dasar itu, uang yang berasal dari Biomorf Mauritius (perusahaan Johannes Marliem) menjadi tanggungjawab dan beban Setnov. Sedangkan terkait dengan jam tangan Richard Mille seharga USD 135 ribu, hakim menilai bukan tanggungjawab Setnov untuk mengembalikan kepada KPK. Sebab, jam tangan itu sudah dikembalikan Setnov kepada Andi Narogong sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga superbodi tersebut. “Terdakwa tidak lagi dibebani untuk mengembalikan uang seharga jam tangan tersebut,” imbuh dia. (jpg/bha)

Tags :
Kategori :

Terkait