Mengintip Bisnis Kerajinan Batok Kelapa

Jumat 09-02-2018,08:17 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA - Melihat limbah batok (tempurung kelapa) yang melimpah di Kota Blitar, Ismarofi (42) memutar otak. Dengan modal Rp 2 juta pinjaman dari tetangga, warga Jl Kaliglagah 48 Tanjungsari, Kecamatan Sukorejo Kota Blitar  ini mulai beraksi. Ismarofi mengambil limbah itu dari tetangganya yang pedagang sayur. Lalu membuat mesin modifikasi untuk membentuk batok kelapa itu sesuai dengan motif yang dinginkan. Setelah itu, batok yang sudah berbentuk motif tertentu ditempel pada media kertas karton yang dilapisi kain. "Baru setelah itu dijahit memakai benang Nylon dan difinishing. Setelah itu dirangkai pakai furing dikasih handle . Jadi tas batok deh," jelasnya. Inilah awal perjalanan tas batok di Blitar. Mulanya tas produksi Ismarofi dipandang sebelah mata. Dia menawarkan tas itu door to door, dan sering ditolak. Padahal harga tasnya waktu itu sekitar Rp 25 ribuan. "Tahun 2009 itu, tas produksi saya seperti enggak ada yang mau. Baru pada 2011 keponakan saya yang pinter komputer menawarkan di dunia maya, online dan hasilnya luar biasa ," tuturnya Selain banyak yang langsung datang ke workshopnya, pembeli juga sering memesan secara online. Sejak itu, dia berinovasi dengan kerajinan batok yang berlabel Coco Art. Ada 34 model tas yang menjadi koleksinya. Ukurannya bervariasi dengan harga dari Rp 25 ribu sampai Rp 125 ribu. Ismarofi juga memproduksi kalung dengan harga Rp 15 ribu, gelang dan gantungan kunci masing-masing seharga Rp 5 ribu. Semakin ramainya pesanan, membuat istrinya , Ririn Rikawati (38) harus ikut terjun membantu usaha sang suami. Ririn yang telah 7 tahun bekerja di optik memilih mundur dari pekerjaannya. "Karena desain itu kebanyakan saya yang buat, jadi biar maksimal kerja total, akhirnya saya resign ," ungkap wanita berhijab ini. Kolaborasi keahlian suami istri ini membuat produksi Coco Art makin berkibar. Jika semula mereka hanya mampu mempekerjakan 2 karyawan, sekarang ada 40 warga sekitar yang ikut bekerja di workshop Coco Art. "Dalam sehari kami mampu memproduksi 50 tas berbagai model . Omzet Alhamdulillah bisa dapat Rp 20 juta dalam sebulan ," ujarnya. Pembelinya pun dari Sabang sampai Merauke. Pemesanan paling banyak datang dari Maumere (Flores), Kalimantan, Bali dan Lombok. "Kalau yang ke luar negeri itu yang jualin para TKW. Seperti di Hong Kong, Brunei dan Malaysia. Turis yang nginap di hotel sini yang banyak pesan itu dari Rusia, Belanda dan Mexico," ungkap Ririn. Kalau turis dari Eropa, lanjut Ririn, justru lebih suka kerajinan batok tanpa finishing (diplitur). Mereka lebih menyukai tekstur batok yang natural.(dtc)

Tags :
Kategori :

Terkait