Kisah Keteladanan dari Sudut Kabupaten Tangerang, Dua Puluh Tahun Pengabdian Sang Guru

Minggu 23-11-2025,21:57 WIB
Reporter : Zakky Adnan
Editor : Andi Suhandi

TANGERANGEKSPRES.ID, RAJEG — Matahari baru setinggi galah di ufuk timur Kecamatan Rajeg, Kabupaten Tangerang, namun deru motor metik tahun 2013 milik Romadon Pardiyani, sudah memecah keheningan jalan desa berbeton dan berdebu.

Kemeja batik KORPRI yang dibelinya sendiri di toko online masih terawat baik, disetrika licin, simbol kebanggaan yang bertentangan dengan status dirinya sebagai guru.

Pada pagi hari, Pak Dian, begitu ia akrab disapa, sudah datang ke SDN Daon 1. Senyumnya tetap merekah ketika disapa anak-anak berseragam merah putih yang menyalami tangannya dengan takzim.

Bagi anak-anak, Pak Dian dan guru lainnnya, adalah pahlawan yang mengajarkan mereka membaca dunia. Namun bagi negara, status guru seperti Pak Dian masih abu-abu atau honorer.

20 tahun bukan waktu yang singkat. Dalam rentang waktu itu, seorang bayi bisa tumbuh menjadi mahasiswa. Namun bagi Pak Dian, waktu seolah-olah berjalan di tempat.

Ia adalah satu dari sekian banyak Oemar Bakrie di Kabupaten Tangerang yang hidup dalam penantian panjang untuk diakui sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), atau setidaknya sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

"Menjadi guru honorer itu harus punya cadangan hati seluas samudera," ujar Pak Dian, saat ditemui di sela waktunya, belum lama ini.

Ia tak sedang mengungkapkan nasibnya yang berlebih-lebihan. Dengan honor jauh dari UMR, harus menghidupi istri dan dua anaknya yang beranjak remaja.

"Kalau ditanya cukup atau tidak, matematika manusia nggak akan nyampe. Tapi Gusti Allah itu Maha Kaya," katanya, sambil tersenyum dengan wajah yang telah merasakan berbagai macam suka-duka.

Walaupun ironi kehidupannya terasa begitu kental. Namun, tak pernah sekalipun ia membawa keluh kesahnya ke dalam kelas. Di hadapan murid-muridnya, ia tetaplah Pak Dian yang ceria dan inspiratif.

Asa dirinya sempat datang ketika pemerintah membuka seleksi PPPK besar-besaran beberapa tahun terakhir. Bagi Pak Dian, ini adalah cahaya di ujung terowongan gelap pengabdiannya.

Namun, kenyataan kembali menamparnya keras. Dua kali mengikuti seleksi, dua kali pula namanya tak tercantum di pengumuman kelulusan.

"Kadang saya bertanya, apakah pengabdian 20 tahun di lapangan, mengenal karakter anak satu per satu, tidak punya nilai lebih? Kami harap, untuk pengangkatan PKKK, juga menilai lama pengabdian," ungkap Pak Dian, dari lubuk hatinya.

Di tengah himpitan ekonomi dan ketidakpastian status, logisnya Pak Dian sudah menyerah sejak lama. "Namun, saya suka ketemu mantan murid. Dia sekarang sudah jadi polisi, dokter, dan pegawai pemerintah. Dia masih suka salim ke tangan saya," tutur Pak Dian.

Momen-momen seperti itulah penyemangat bagi Pak Dian. Sebuah kepuasan batin yang tak bisa dibeli. Ia sadar, jika para guru berhenti, siapa yang akan mengajar anak-anak di pelosok desa dengan hati tulus.

Kategori :