TANGERANGEKSPRES.ID, TANGERANG — Perkembangan arus teknologi yang begitu pesat hingga masyarakat berselancar mengarungi dunia melalui genggamannya. Teknologi sudah menyatu dengan kehidupan manusia. Salah satu pengaruh perkembangan teknologi bergesernya transportasi konvensional menjadi transportasi online. Seperti Ojek pangkalan yang tergerus dengan ojek online.
Di tengah derasnya perkembangan teknologi, Jayadi (58), warga Kelurahan Panunggangan Barat, Kecamatan Cibodas ini tetap mempertahankan profesinya sebagai ojek pangkalan.
Setiap harinya, sejak pagi hari hingga sore hari dia mangkal di tempatnya yang berlokasi di pertigaan Palem Semi. Menunggu penumpang memesan jasanya. Pria lansia itu tetap semangat dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
”Tadi saya keluar dari rumah sekitar pukul 06.00 Belum ada satupun tarikan,” ungkap Jayadi saat ditemui Tangerang Ekspres di pangkalannya, Kamis (20/11).
Jarum jam telah menunjukkan pukul 13.17 WIB. diiringi hujan deras Jayadi menceritakan perjalanan hidupnya. Sebelum menjalani profesi ojek pangkalan, Jayadi bekerja di salah satu perusahaan di bilangan Jakarta Pusat. Mulai 1996, krisis ekonomi menghantam Indonesia. Gejolak politik pun berujung pada keruntuhan rezim Soeharto pada tahun 1998.
Imbas dari gejolak tersebut, harga-harga kebutuhan pokok meroket dengan tajam, ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutus hubungan kerja (PHK) pegawai-pegawainya.
Jayadi, salah satu dari ribuan pegawai yang terkena imbas PHK kala itu. Dia yang memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil harus tetap memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Sepeda motor yang dimilikinya kala itu dijadikan untuk mencari nafkah. Ojek pangkalan menjadi pilihan alternatif guna memenuhi kebutuhan hidupnya. ”Saya mulai ngojek sekitar tahun 2.000, sebelumnya setelah PHK saya sempat cari kerja lagi tak gak dapat, pernah ikut berjualan sama temen cuma gak lama,” ujar Jayadi.
Jayadi saat ini harus memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk istri dan dua anak cucunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jayadi hanya menyandarkan pada profesinya sebagai ojek pangkalan.
Lansia ini ingin beralih ke ojek online, namun penglihatannya sudah mengalami degenerasi. Dia sudah tidak mampu melihat dari jarak dekat. Terlebih, dia tidak mampu menguasai penggunaan aplikasi smartphone termasuk aplikasi ojek online.”Kepengen saya jadi ojek online, tapi mata saya udah kurang penglihatannya, tambah lagi saya gak bisa menggunakan hape,” katanya.
Jayadi menceritakan pengalaman nahasnya, dia mendapat seorang penumpang yang meminta diantarkan ke Jakarta. Jayadi meminta biaya ojek Rp180 ribu dan langsung disepakati calon penumpangnya. Jayadi di Jakarta mengantarkan penumpangnya ke pusat pertokoan Harco Glodok yang konon akan membeli sparepart kendaraanya. Saat berbelanja, pasalnya penumpang tersebut kekurangan uang untuk membayar barang yang dibelinya. Penumpang itu menanyakan apakah Jayadi memiliki uang sebesar 700 Ribu rupiah. Kebetulan Jayadi baru saja mendapatkan uang pinjaman dari rekannya sebesar Rp500 ribu untuk membayar cicilan motornya.
”Saya bilang ada Rp500 ribu, memang waktu itu saya baru dapat pinjaman dari teman di pangkalan buat bayar cicilan motor. Akhirnya uang Rp500 ribu itu di pinjam dulu sama orang itu. Karena kan mau diganti di rumahnya, saya percaya aja. Lama saya tunggu tuh orang gak balik-balik, sekitar 2 jam lebih saya nunggu, yang namanya di Harco Glodok kan toko banyak,” kata Jayadi.
”Saking lamanya saya nunggu, baru sadar kalau saya kena tipu,” sambungnya.
Kondisinya yang sudah renta, Jayadi tetap semangat mencari nafkah. Ia bersama beberapa rekan seusianya di tengah perkotaan seiring derasnya arus teknologi tetap mempertahankan pekerjaannya sebagai ojek pangkalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
”Paling besar sekarang 35 ribu, ya syukuri aja, gimana lagi saya sudah tua, cucu butuh jajan buat sekolahnya, cucu saya dua, yang besar kelas 4 SD, yang satunya kelas 2 SD,. Istri saya di rumah aja jagain cucu,” ucapnya.