TANGERANGEKSPRES.ID, SERANG — Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat, hingga 18 November 2025 kekerasan pada anak dan perempuan di Banten mencapai 1.156 kasus. Dengan data tersebut saat ini telah menempatkan Banten masuk dalam 10 besar dengan kasus kekerasan tertinggi di Indonesia.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan, dalam dua tahun terakhir kasus kekerasan di Banten terus mengalami lonjakan.
Berdasarkan data Simfoni PPA pada 2023 kasus kekerasan di Banten mencapai 1.026, dan 1.114 di tahun 2024. Sementara di tahun ini sudah mencapai 1.156 kasus, bahkan jumlah ini masih berpotensi bertambah sampai dengan Desember mendatang.
Adapun rinciannya kasus kekerasan di tahun ini, yaitu 77 kasus di Kabupaten Pandeglang, 97 di Kabupaten Lebak, 215 di Kabupaten Tangerang, 88 di Kabupaten Serang. Selanjutnya, kekerasan di Kota Cilegon mencapai 106 kasus, Kota Tangerang 228 kasus, Kota Tangerang Selatan 285 kasus, dan terakhir di Kota Serang yang berjumlah 60 kasus.
”Kalau kita lihat data, jumlah kekerasan di Banten terus alami kenaikan dalam dua tahun terakhir,” katanya, Rabu (19/11).
Ia mengaku, meski angkanya tidak mengalami kenaikan yang cukup tajam, namun kondisi ini cukup mengkhawatirkan, apalagi masuk dalam 10 besar kasus kekerasan tertinggi di Indonesia.”Kalau darurat tidak karena kenaikannya tidak lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya, tapi kasusnya naik terus,” ungkapnya.
Dikatakan Hendry, kasus kekerasan ini bisa lebih mengkhawatirkan bila tembus 1.200 lebih. Angka tersebut bisa menempatkan Banten berada di posisi 7 atau 8 dengan kasus kekerasan tertinggi di Indonesia.
”Walaupun Banten dapat penghargaan layak anak, tapi dengan posisi kasusnya masuk ke 10 besar di Indonesia ini sangat mengkhawatirkan,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Hendry Gunawan menyampaikan keprihatinan dan duka mendalam atas meninggalnya siswa SMPN 19 Tangerang Selatan, MH (13), akibat dugaan perundungan atau kekerasan yang terjadi beberapa waktu lalu.
”Peristiwa ini harus menjadi momentum bagi kita semua untuk memahami bahwa perundungan bukanlah kenakalan remaja biasa, melainkan bentuk kekerasan yang berbahaya dan tidak bisa ditolerir,” katanya.
Ia menjelaskan, kasus MH membuktikan betapa fatalnya dampak perundungan. Secara fisik, perundungan dapat menyebabkan cedera serius, gangguan kesehatan, hingga berujung kematian. Secara psikis, korban mengalami trauma mendalam, depresi, rasa tidak aman, dan kepercayaan diri yang hancur. ”Dampak sosialnya pun tidak kalah mengkhawatirkan prestasi akademik menurun, kecenderungan mengisolasi diri, bahkan munculnya keinginan bunuh diri,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Komisi V DPRD Banten, Rifky Hermiansyah menegaskan bahwa Provinsi Banten harus zero tolerance atau tidak ada toleransi untuk kasus kekerasan yang terjadi di Banten, apalagi kejadian yang menimpa pelajar yang akhir-akhir ini kerap bermunculan.“Tidak ada toleransi untuk kasus kekerasan,” katanya.
Menurutnya, dengan banyaknya kasus kekerasan di satuan pendidik mengharuskan pihak sekolah untuk memperbanyak pendamping guru dan pembimbing konseling di setiap sekolah. Selanjutnya memperbanyak CCTV di setiap sudut area yang tidak terjangkau oleh kamera di masing-masing sekolah.“Ini dilakukan agar tidak ada lagi kekerasan di sekolah, CCTV di perbanyak di tiap sekolah jadi tidak ada ruang blank spot tempat kekerangan,” ujarnya.
Ia menuturkan, Kasus-kasus ini akan dijadikan bahan evaluasi dan pokok pikiran utama Komisi V DPRD Banten untuk 2026. Tak hanya itu pihaknya juga akan menginisiasi pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tentang Sekolah Ramah Anak. Perda ini dirancang untuk menciptakan mekanisme yang jelas terkait anti-bullying (anti-perundungan), anti-pelecehan seksual dan jenis kekerasan lainnya.
Terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi angkat bicara terkait kematian Muhammad Hisyam (13). Hisyam merupakan siswa Kelas 1 SMPN 19 Kota Tangsel yang menjadi korban bullying dan meninggal pada Minggu (16/11) lalu.