Untuk itu Konunas, mencatat beberapa hambatan dan ketidak sesuaian pelaksanaan dan alokasi anggaran yang setiap tahun di ambil dari alokasi dana yang dikelola oleh pemerintahan desa khususnya di Kabupaten Lebak. Kurangnya sosialisasi dan literasi kepada masyarakat, ketidak seriusan pemerintah desa untuk terbuka, dan tidak efektifnya layanan administrasi menjadi kendala yang menghalangi hak publik untuk tahu terhadap penyelenggaraan dana publik di desa-desa.
“Saat ini yang terjadi adalah, anggaran PPID desa setiap tahun digelontorkan untuk pembiayaan ini namun sifatnya hanya dimaknai sebagai gaji atau honor tambahan untuk kepala desa dan sekretaris desa atau kaurnya saja," tuturnya.
Secara esensial kebutuhan administrasi penyediaan formulir permohonan informasi publik yang harusnya diisi oleh pemohon kebanyakan tidak tersedia. Bahkan, yang lebih memperihatinkan lagi, beberapa waktu lalu beberapa desa serentak melakukan pembiayaan website desa namun hanya berselang setahun website itu pun hilang dari kolom pencarian google, dan informasinya hosting habis dan mengalami kadaluarsa.
“Sehingga aset digital milik desa itu pun hilang dan mengandung kerugian negara atas hilangnya asset yang dibeli dari APBDesa, ujung-ujungnya masyarakat juga yang rugi selaku pembayar pajak,” kata Syarif.
Oleh karena itu, dia berharap kepada DPRD Kabupaten Lebak yang baru dilantik agar berperan dan menyoroti kasus PPID desa ini, dan menjadikan pembahasan di kursi DPRD.
“Kami meminta agar anggota DPRD Lebak menyoroti issue keterbukaan informasi publik khususnya di bidang pemerintahan desa dan satuan pendidikan, karena menurut saya dana desa dana operasional pendidikan ini adalah wilayah yang krusial dan penting untuk diawasi karena di dalamnya dibangun sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan,” pungkasnya.(*)