Angkutan Online Terkendala Uji Kelayakan

Sabtu 25-03-2017,05:17 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA – Pemberlakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) 32/2016 tinggal menghitung hari. Tapi sepertinya, kesiapan pemerintah pusat dan daerah belum sejalan. Masih banyak keluhan soal ketidaktersediaan uji kendaraan bermotor (KIR) untuk angkutan sewa khusus atau angkutan online.

Sebut saja daerah Depok dan Bekasi. Sekjen Koperasi Trans Usaha Bersama (Mitra Uber) Musa Emyus menuturkan, banyak anggota koperasinya yang harus gigit jari karena tidak bisa melakukan uji KIR di sana. Hal ini terjadi sejak tahun lalu, saat awal PM 32/2016 ada.

Menurutnya, sejauh ini hanya DKI Jakarta yang siap dalam penyelenggaraan KIR ini. ”Tapi kan mereka tidak bisa KIR di DKI. Pemerintah membebani KIR tapi ternyata di lapangan tidak siap,” keluhnya.

Bukan Cuma itu, Musa juga wadul soal penerbitan Sertifikat Uji Tipe (SUT) kendaraan bermotor untuk mobil-mobil baru. Dia menjelaskan, dalam kebijakannya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menyutujui bahwa bagi kendaraan baru tidak perlu uji KIR. Pemilik cukup mengantongi SUT dari pihak perusahaan mobil untuk nantinya mendapat kartu pengawasan dan izin jalan.

”Tapi nyatanya tidak dikomunikasikan dengan pihak perusahaan mobil di sini. Banyak anggota yang mobilnya baru tapi sampai sekarang juga nggak dapat SUT. Cuman yang mobil niaga saja,” ujarnya.

 Melihat kondisi ini, Musa sangsi pada 1 April 2017 nanti revisi PM 32/2016 bisa berjalan dengan baik. Sebab, kesiapan pemerintah sendiri masih kurang.

Ia pun turut menyesalkan keputusan pemerintah soal pembatasan kuota jumlah kendaraan dan penetapan tarif batas atas dan bawah untuk angkutan online. Menurutnya, pembatasan kuota akan berdampak pada pelayanan masyarakat. Pasalnya, masyarakat akan semakin terhambat mendapatkan layanan karena jumlah yang terbatas.

Begitupun untuk tarif. Dia mengatakan, penetapan ini tidak sejalan dengan prinsip angkutan sewa. Yakni. kesepakatan antara pengguna dan driver sesuai dengan UU 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam pasal 183 disebutkan, terkait angkutan orang tidak dalam trayek ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum.

Dengan penetapan ini pun, dia meyakini, bahwa tarif akan langsung melambung tinggi. Sebab, cara perhitungan harga pokok juga berubah. ”Padahal ini kan prinsipnya sharing. Tidak sesuai dong. Pemerintah juga tidak menghadirkan konsumen saat pembahasan aturan  ini. Padahal mereka yang akan menjalani,” ujarnya.

Selain dua persoalan tersebut, Musa pun menyatakan sikap menolak tegas soal aturan STNK. Banyak driver mitra yang juga menolak hal ini. Aturan dinilai sangat membebani. Selain biaya balik nama yang tidak sedikit, kekhawatiran soal kepemilikan juga jadi alasan utama.

Sejauh ini, anggota koperasi Trans Usaha Bersama sudah mencapai 10.000 orang. Jumlah ini tersebar di beberapa daerah.

Biasanya, dalam satu daerah terdapat sekitar 3000 anggota.

Dikonfirmasi terkait persoalan KIR ini, Direktur Angkutan dan Multimoda Kemenhub Cucu Mulyana menuturkan, pihaknya akan mengomunikasikan hal ini pada direktur sarana. Kendati begitu, dia memastikan pihaknya melalui direktur sarana telah membuat SOP terkait uji kendaraan bermotor tersebut. Termasuk, untuk uji KIR oleh pihak swasta.

 ”Dalam waktu dekat ini akan disosialisasikan juga,” ujarnya melalui pesan singkat.

Terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan, keberadaan angkutan online ini memang tidak mungkin dilarang. Tapi juga tidak mungkin dibiarkan beroperasi tanpa adanya regulasi.

Menurutnya, secara umum, revisi Permenhub No. 32/2013 terlalu permisif dan kompromistis. Misalnya, soal akomodasi/pembolehan terhadap mobil LCGC sebagai taksi. Padahal mobil LCGC hanya 1.000 cc seharusnya tidak laik untuk angkutan umum karena tidak safety. “Uji kir juga cukup dengan stiker tidak harus diketok di mesinnya,” ujarnya.

Sejauh ini pun, kata dia, angkutan berbasis aplikasi baru menjawab terhadap satu poin prinsip dasar dalam bertransportasi yakni aksesibilitas. Konsumen bisa dengan mudah mendapatkan angkutan online daripada angkutan konvensional. Sedangkan, untuk aspek lain, angkutan online dinilai belum mampu menjawab kebutuhan dan perlindungan konsumen. Misalnya, belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas, baik untuk armada dan sopirnya.

Untuk tarif pun demikian. Dia menuturkan, tarif angkutan online sejatinya juga tidak bisa dibilang murah. Bahkan terkadang bisa lebih mahal daripada taksi konvensional. Sebab angkutan online memberlakukan tarif berdasarkan jam sibuk (rush hour) dan non rush hour. ”Pada rush hour tarif angkutan online bisa jauh lebih mahal.Apalagi dalam kondisi hujan,” ungkapnya.

Terkait pemberlauan batas atas dan bawah, Tulus menilai hal ini tidak akan sulit bagi mereka. Sebab, selama ini secara tidak langsung justru sudah menerapkan tarif batas bawah dan batas atas dengan tarif rush hour tadi.

Menurutnya, yang harus jadi catatan adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. “Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Bagaimana pengecekannya?” ungkapnya.

Di sisi lain, YLKI juga mendesak pada operator angkutan konvensional untuk turut meningkatkan pelayanan. Tulus pun meminta Kemenhub mengaudit tarif angkutan konvensional agar dibebaskan dari unsur inefisiensi. Sehingga konsumen tidak menanggung tarif/ongkos kemahalan karena adanya unsur inefisiensi dalam tarif angkutan konvensional.

Terpisah, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Reni Marlinawati meminta Kemenhub untuk tidak gegabah melakukan revisi Permenhub Nomor 32 tahun 2016. Dengan penyesuaian tarif, bisa jadi hal itu akan mempengaruhi animo masyarakat dalam memanfaatkan transportasi online. “Dengan kata lain, pendapatan pengemudi online bisa jadi akan mengalami penurunan,” kata Reni.

Reni menilai, Kemenhub patut merujuk pada data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016. Disebutkan bahwa angka pengangguran berkurang salah satunya dari kontribusi transportasi online. BPS saat itu mencatat 500 ribu tenaga kerja terserap di sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi. “Harus diakui, transportasi online telah mengurangi angka pengangguran,” ujar Wakil Ketua Umum PPP itu.

Atas dasar hal tersebut, kata Reni, sebaiknya pemerintah mengkaji secara mendalam dampak penerapan permenhub terhadap tenaga kerja yang terserap melalui transportasi online. Analisa dampak penerapan peraturan (regulatory impact assessement) harus dilakukan pemerintah. “Jangan sampai kebijakan tersebut justru membuat masalah sosial baru, salah satunya dengan bertambahnya pengangguran karena omset transportasi online turun,” tandasnya. (jpg)

Tags :
Kategori :

Terkait