JAKARTA-Tingkat penularan Covid-19 pada anak-anak tidak bisa dianggap enteng. Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa saat ini sekitar 1.851 anak di Indonesia menjadi korban keganasan virus Corona itu.
Keterangan tersebut disampaikan Ma’ruf dalam seminar nasional yang digelar oleh Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT) kemarin (24/6). Menurut dia dampak pandemi Covid-19 bagi anak-anak, termasuk murid di madrasah perlu menjadi pembahasan serius.
Ma’ruf menuturkan saat ini tercatat sekitar 1.851 anak di Indonesia menjadi korban virus Corona. ’’Hal ini merupakan peringatan bagi kita semua,’’ katanya. Semua pihak harus memiliki perhatian dan perspektif perlindungan anak-anak di tengah pandemi. Termasuk di dalam pemberlakuan new normal atau tatanan baru, juga harus memperhatikan keamanan anak-anak dari virus Corona.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menuturkan selama ini pemerintah konsentrasi pada penanggulangan penularan Covid-19. Apalagi penyakit ini memiliki tingkat penularan yang sangat tinggi. Selain itu juga belum tersedia vaksin serta obat Covid-19.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam memutus penyebaran virus itu adalah menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Salah satunya adalah jaga jarak, fisik dan sosial.
’’Akibatnya anak-anak di sekolah umum atau madrasah terpaksa tidak bisa belajar secara reguler (di kelas, Red),’’ jelasnya.
Sebagai gantinya anak-anak belajar dari rumah masing-masing. Supaya para murid dan guru terlindungi dari potensi penularan sekaligus mencegah penyebaran virus korona.
Ma’ruf menuturkan setelah sejumlah daerah menunjukkan penurunan tingkat penyebaran Covid-19, pemerintah menyiapkan protokol tatanan kenormalan baru.
Sehingga masyarakat bisa kembali produktif namun tetap aman dari Covid-19. Tatanan kenormalan baru ini termasuk juga dimulainya kegiatan belajar mengajar di sekolah, madrasah, maupun di pesantren.
Dia menegaskan pertimbangan untuk dapat memulai kegiatan belajar mengajar tatap muka adalah kriteria tingkat keamanan pandemi Covid-19. ’’Hanya daerah yang masuk zona hijau yang dapat memulai kegiatan persekolahan secara tatap muka,’’ tuturnya.
Selain zona tersebut, pelaksanaan protokol kesehatan dalam kenormalan baru akan terus dievaluasi.
Ma’ruf juga mengatakan pemerintah ingin memastikan kegiatan pembelajaran tatap muka di wilayah zona hijau Covid-19 menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin. Diantaranya adalah tes kesehatan bagi siswa. Sebab tidak menutup kemungkinan sekolahnya di zona hijau, namun siswanya berasal dari zona merah atau lainnya.
Ketentuan ini khususnya berlaku bagi pesantren atau lembaga pendidikan berasrama. Sebab para anak didiknya berasal dari lintas daerah.
Ma’ruf mengakui pembukaan kegiatan sekolah atau madrasah sekaligus perlindungan kesehatan dari Covid-19 menjadi dilema yang sangat sulit bagi pemerintah. Hasil studi di sejumlah negara menyebutkan, Covid-19 menimbulkan dampak jangka panjang. Sementara pendidikan harus memberikan keamanan, perlindungan, sekaligus harapan untuk masa depan.
Selain itu Ma’ruf menyebutkan pemberlakuan belajar dari rumah juga tidak efektif dan menimbulkan persoalan ketidaksetaraan. ’’Banyak rumah tangga yang tidak dapat memiliki akses terhadap internet,’’ jelasnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 lalu, ada sekitar 61 persen anak tidak memiliki akses internet di rumahnya.
Ketua Umum DPP-FKDT Lukman Khakim mengatakan pemerintah juga perlu memperhatikan madrasah diniyah. Sebab saat ini jumlah madrasah diniyah atau madin mencapai 86 ribuan unit. Kemudian jumlah pengajar atau ustaz sekitar 600 ribu dan siswa atau santrinya mencapai 6,3 jutaan. Menurut dia munculnya pandemi Covid-19 menjadi keprihatinan sekaligus tantangan. Baginya pendidikan keagamaan tidak boleh berhenti. ’’Madrasah diniyah harus melakukan adaptasi,’’ katanya.
Dia lantas menyebutkan apakah madin juga harus menjalankan pembelajaran jarak jauh atau online layaknya sekolah formal. Jika diharuskan menjalankan pendidikan online, tentu harus memperhatikan kondisi di lapangan. Apalagi saat ini banyak madin yang berada di pelosok daerah dan sulit akses internet. ’’Bagaimanapun tantangan ini harus dicarikan solusinya,’’ tandasnya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah menyiapkan modul-modul khusus bagi 94 persen siswa yang nantinya masih akan menjalani pembelajaran dari rumah.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbang dan Perbukuan) Totok Suprayitno mengungkapkan, modul ini akan dibuat menarik sehingga bisa mengurangi kebosanan anak. Terlebih bagi anak yang terpaksa belajar sendiri atau minim panduan dari guru.
”Modul akan dibuat baik untuk belajar daring maupun luring,” ujarnya. Modul tersebut, kata dia, bakal disusun dengan mengedepankan pendekatan project-based learning atau activity-based learning. Harapannya, dapat lebih memandu anak agar tidak memahami konsep sebatas yang tertuang di buku teks saja.
Tapi, juga memandu anak bagaimana cara belajar dan memahaminya lebih mendalam. ”Ini tentunya bukan satu-satunya solusi, tetapi bagian dari upaya untuk membantu anak bisa belajar,” ungkap Totok.
Khusus untuk daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) atau yang tidak terjangkau internet, Kemendikbud akan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk pendistribusian modul-modul cetak. Sehingga, siswa dapat terbantu untuk belajar selama di rumah.
Di sisi lain, ia juga menyinggung tentang efektivitas belajar dari rumah selama masa pandemi. Pihaknya telah melakukan survey secara daring dalam rentang waktu 13-22 Mei 2020, dengan responden 38.109 siswa dan 46.547 orang tua pada seluruh jenjang pendidikan di seluruh provinsi di Indonesia.
Survei kemudian dilanjutkan pada 18 Mei-2 Juni 2020. Bekerja sama dengan UNICEF, Kemendiskbu melakukan survei melalui layanan sms gratis terhadap 1.098 siswa dan 602 orang tua, terutama yang berdomisili di daerah 3T.
Dari hasil survei tersebut, baik di wilayah 3T maupun non-3T, sebanyak 96,6 persen siswa belajar sepenuhnya dari rumah. ”Hampir 90 persen orang tua mendampingi anaknya belajar dari rumah di semua jenjang pendidikan,” papar Totok. Menurutnya, hal ini merupakan hal yang positif karena orang tau memiliki peran cukup sentral dalam pelaksanaan belajar dari rumah. Meski, ada keluhan yang cukup menonjol soal ketidakpahaman materi ajar.
Kemudian, sebanyak 3,3 persen siswa masih ada yang belajar bergantian di rumah dan di sekolah dan 0,1 persen siswa harus belajar penuh dari sekolah karena tidak ada yang mendampingi belajar dari rumah. Jaringan internet yang tidak memadai menjadi salah satu alasan sehingga sejumlah siswa melakukan pembelajaran dari rumah dan di sekolah secara bergantian. Selain itu, survei menunjukkan siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi.
”Siswa-siswa tersebut berdomisili di wilayah 3T yang tidak terdampak Covid-19,” jelasnya.
Selain itu, yang menjadi sorotan lainnya ialah masih banyaknya guru yang hanya memberikan penugasan mengerjakan soal-soal saja. Hal ini dikhawatirkan bakal membuat anak kehilangan konsep inti dari kurikulum yang seharusnya dikuasai lebih dulu.
Selian itu, diakuinya, kondisi saat ini juga dikhawtairkan potensi melebarnya kesenjangan hasil belajar antar siswa. Terutama anak-anak dari keluarga miskin yang merupakan kelompok paling rentan kemungkinan kehilangan pengalaman belajar.
Oleh karena itu, Kemendikbud mendorong setiap guru agar melakukan asesmen awal bagi siswa-siswinya di masa tahun ajaran baru nanti. Tujuannya agar membantu guru mengetahui kondisi dan kemampuan belajar setiap siswa usai masa belajar dari rumah. Sehingga dapat memberikan perhatian khusus bagi yang tertinggal.
Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa ancaman Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Bahkan, kasus konfirmasi positif meningkat di sejumlah daerah. beberapa provinsi juga masih tinggi angkanya. Meskipun demikian, pemerintah yakin pandemi tersebut bisa segera dikendalikan dengan baik, bila ada kerja sama antara pemerintah dan masyarakat.
’’Kita semakin optimistis karena datanya semakin baik tetapi kita juga harus tetap waspada,’’ terangnya di Istana Merdeka kemarin. Data sebagai bahan analisis kondisi dinilai sudah cukup komplet saat ini. Karena itu, bila sebuah daerah hendak masuk ke dalam era kenormalan baru, harus memperhatikan data-data itu terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.
Menurut Presiden, bagaimanapun masyarakat memiliki peran besar dalam menekan jumlah kasus dan mencegah penularan Covid-19. Karena itu, dia berulang kali mengampanyekan budaya disiplin menjaga jarak, mengenakan masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan. ’’Saya minta juga agar masyarakat saling mengingatkan untuk disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan,’’ lanjutnya.
Ketua tim pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) Prof Wiku Adisasmito membandingkan kondisi di Indonesia dengan negara-negara lain. Berdasarkan kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah. ’’Posisi Indonesia dibanding dengan negara lainnya ternyata secara ekonomi dan kesehatan, kita tidak lebih buruk daripada yang lainnya,’’ urainya.
Posisi Indonesia dalam pandemi global relatif berada di tengah-tengah. Di saat negara-negara lain masih berada di bawah. Dari sisi zonasi di dalam negeri, antara 31 Mei-21 Juni lalu terjadi kenaikan persentase daerah yang masuk zona hijau atau risiko rendah. Dari 46,7 persen, kini persentasenya sudah hampir 60 persen. ’’Untuk itu beberapa sektor yang aman sudah mulai dibuka,’’ lanjut Wiku.
Jumlah RS yang menangani Covid-19 juga naik menjadi 1.687, di mana 800 di antaranya adalah RS rujukan nasional dan provinsi. Semuanya terhubung dengan 220 lab yang saat ini kemampuan tesnya mendekati 20 ribu per hari. Alat pelindung diri yang awalnya menjadi problem utama dalam melindungi tenaga kesehatan kini sudah diproduksi secara mandiri dengan kapasitas yang besar.
Di tempat yang sama, epidemiolog GTPPC dr Dewi Nur Aisyah menjelaskan, pengumpulan data berbasis teknologi masih terus berjalan. Untuk saat ini, Indonesia memiliki 76.813 ribu data penyelidikan epidemiologi. Kemudian, ada 245.126 data pasien Covid di 1.687 RS . Baik OTG, ODP, PDP, dan kasus konfirmasi positif. Juga, 380.013 data pemeriksaan lab. Semua terangkum dalam sistem aplikasi bersatu lawan Covid dan dipetakan sampai level kecamatan.
Terkait laju penularan, ada positivity rate yang dijadikan acuan. Dia membandingkan, pada 11-17 Mei lalu, total ada 26 ribu orang yang diperiksa dengan konfirmasi positif 13 persen. Kemudian, pada 15-21 Juni lalu, ada 53 ribu orang yang diperiksa dalam sepekan. Namun positivity rate-nya 14 persen. ’’Artinya apa, laju penularannya masih sama di Indonesia,’’ terang dewi.
Menurut Dewi, dengan perbandingan tersebut tidak bisa dikatakan bahwa kondisi penularan Covid-19 di Indonesia memburuk. ’’Kondisinya sama, tapi dengan testing yang lebih baik dan lebih banyak, kita bisa mengisolasi pasien-pasien yang berpotensi menularkan,’’ lanjut Dewi. Publik diminta tidak hanya melihat semata-mata jumlah kasus positif, namun juga berapa banyak tes yang dilakukan.
Ada lima provinsi dengan persentase kenaikan kasus tertinggi dalam sepekan terakhir. Yakni Kalteng (97 persen), Bali (94,3 persen), Sumsel (49,2 persen), Jateng (37,2 persen), dan Jabar (32,1 persen). Sementara untuk insiden kasus tertinggi ada di Jakarta Pusat dengan 149,2 kasus per 100 ribu penduduk. Disusul Jayapura (108 dan Surabaya (107,6)
Dari sisi fatalitas, terlihat bahwa saat ini Surabaya yang paling tinggi tingkat kematiannya. Yakni 9,8 per 100 ribu penduduk. Artinya ada 9-10 kematian tiap 100 ribu penduduk. Disusul Banjarmasin (98,4), Manado (8,02), Jakarta Pusat (8,01), dan Makassar (4,9).
Sementara itu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan bahwa perkembangan terakhir yang dipantau oleh Gugus Tugas Pecepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC-19), penyebaran virus masih terjadi.
Kemudian yang banyak terpapar adalah kelompok rentan yang terdiri dari lanjut usia dan anak-anak. “Ada sebagian kelompok rentan yang masih belum patuh pada protokol kesehatan,” kata Yuri kemarin (24/6).
Hingga kemarin, tercatat kasus konfirmasi positif mengalami penambahan sebanyak 1.113 orang. Total kasus positif COVID-19 nasional mencapai 49.009 orang. Diimbangi dengan total kasus sembuh yang bertambah 417 orang sehingga menjadi 19.658 orang. Penambahan tertinggi kasus positif harian teridentifikasi di Provinsi Jawa Timur dengan 183 kasus, disusul DKI Jakarta 157, Sulawesi Selatan 132, Maluku Utara 95 dan Kalimantan Selatan 90. Kemudian kasus kematian bertambah 38 orang menjadi 2.573 orang.
Kasus yang positif, kata Yuri kebanyakan tidak memiliki gejala yang signifikan, membuat merasa lebih aman atau merasa sehat, ini yang tidak disadari. Yurianto juga mengingatkan bahwa masih adanya kelompok rentan yang tidak mematuhi protokol kesehatan, tidak menjaga jarak, tidak menggunakan masker, dan kemudian tidak rajin mencuci tangan.
“Inilah yang kemudian menjadi kelompok rentan untuk tertular, dan ini memberikan gambaran kasus baru yang muncul,” tambahnya.
Tim Komunikasi Publik GTPPC-19 Reisa Broto Asmoro mengungkapkan bahwa sedapat mungkin mereka yang beraktivitas di luar rumah adalah mereka yang benar-benar sehat. Sementara kelompok rentan seperti anak-anak harus dijaga untuk tidak tertular.
Contohnya dalam hal pembukaan tempat wisata. “Hindari mengajak anak yang belum bisa menggunakan masker dengan baik dan benar. Hindari mengajak orang-orang yang rentan terhadap penularan COVID-19, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit penyerta," terang Reisa.
Pengunjung wisata juga harus melakukan protokol kesehatan saat kembali ke rumah masing-masing. Agar tidak menulari anak-anak. “Setelah tiba di rumah, terapkan protokol kedatangan seperti mandi dan ganti pakaian, dan jangan lupa bersihkan peralatan yang dibawa keluar seperti handphone, kacamata, tas, dan barang-barang lainnya dengan disinfektan," imbaunya. (jpg)