JAKARTA-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengancam akan menarik kembali suntikan dana sebesar Rp 13,5 triliun yang telah digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Seperti diketahui, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 32 triliun di 2019. Ia menegaskan, kenaikan iuran BPJS kelas III, tetap naik. Sesuai dengan kesempakatan dengan DPR. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu tertuang dalam Perpres No.75 tahun 2019. ‘’Jika meminta peraturan presiden (nomor 75 tahun 2019) dibatalkan, maka Menkeu yang sudah transfer Rp 13,5 triliun 2019 saya tarik kembali,’’ tegasnya, saat rapat gabungan antara pemerintah dan DPR terkait BPJS Kesehatan, di gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin (18/2). Ani (panggilan Sri Mulyani) menjelaskan, jika iuran dibatalkan tetapi pemerintah tetap harus memberikan suntikan dana ke BPJS Kesehatan, maka hal itu akan berpotensi menjadi temuan BPK. Dalam memberikan jaminan sosial pada masyarakat, pemerintah tentu juga harus memperhatikan kondisi keuangan negara. Belum lagi, pemberian jaminan sosial harus dilakukan secara berkelanjutan. Namun, di waktu yang bersamaan, BPJS Kesehatan justru mencatatkan defisit sejak 2014. Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu memerinci, BPJS terus mengalami defisit dengan tren semakin besar tiap tahun. ‘’Itu semua harus diakui karena fakta,’’ imbuhnya. Tahun 2014 BPJS Kesehatan defisit Rp 9 triliun, kemudian diberikan suntikan dana oleh pemerintah Rp 5 triliun. Tahun 2016 defisit turun menjadi Rp 6 triliun dan disuntik pemerintah Rp 6 triliun. Namun, jumlah defisit tersebut kembali meningkat menjadi Rp 13 triliun pada 2017 dan meningkat menjadi Rp 19 triliun pada 2018. Ani juga menyebut bahwa BPJS Kesehatan belum mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar kewajibannya pada rumah sakit. Padahal, banyak rumah sakit yang juga mengalami kesulitan. ‘’Padahal disebutkan BPJS maksimal 15 hari membayar. Namun banyak kewajiban BPJS Kesehatan yang bahkan sampai lebih dari 1 tahun tidak dibayarkan,’’ tambahnya. Dengan kondisi itu, dia meminta pada seluruh pihak, terutama anggota DPR yang ngotot meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran itu agar melihat persoalan secara keseluruhan. Sebab, kenaikan iuran itu juga merupakan rekomendasi raker gabungan yang dilakukan September 2019 lalu dan diimplementasikan sejak awal Januari tahun ini. ‘’Ini kami ingin sampaikan saja pak Muhaimin, supaya ini jangan masalah seolah-olah pemerintah tidak melakukan apa yang sudah disampaikan dan kemudian membuat Perpres. Ini untuk meluruskan karena penting sekali,’’ tegasnya. Terkait dengan pembersihan data peserta BPJS Kesehatan, Ani menjelaskan bahwa perbaikan data yang dilakukan pemerintah adalah tindak lanjut dari rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari rekomendasi itu, ada 27,44 juta peserta yang dianggap memiliki persoalan kepesertaan. Masalah yang ditemukan BPKP yakni NIK peserta yang tidak sama, adanya karakter alfa numeric dalam NIK, NIK ganda, kolom fasilitas kesehatan (faskes) kosong, sampai dengan nama berisi orang meninggal. Usai melaksanakan rekomendasi BPKP itu, pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersbeut berisi soal kenaikan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Januari 2020. ‘’Makanya waktu itu pemerintah bisa mengeluarkan Perpres revisi untuk iuran, jadi kami masih sangat memenuhi dan mengikuti kesimpulan rapat Komisi XI dan Komisi XI, ini kami ingin sampaikan supaya jangan sampai pemerintah tidak melakukan apa yang sudah disampaikan kemudian membuat Perpres,’’ katanya. Data penerima bantuan iuran (PBI) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kembali dipersoalkan. Kementerian Sosial (Kemensos) mengungkap adanya permasalahan data terkait kelompok ini. Sebanyak 30 juta orang PBI (iuran BPJS kelas III dibayar pemerintah) ternyata tak masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Padahal, DTKS ini yang menjadi acuan siapa saja orang miskin di Indonesia. Termasuk, penyaluran dana bantuan sosial (bansos) untuk mereka. Lalu, siapa 30 juta orang ini? Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara menjelaskan, data PBI ini merupakan warisan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Data tersebut dilimpahkan ke pihaknya untuk kemudian disinkronkan dengan DTKS di tahun lalu. ”Disepakati waktu itu September bahwa yang menerima PBI itu harus yang masuk DTKS,” ujarnya ditemui usai rapat gabungan antara pemerintah dan DPR terkait BPJS Kesehatan, di gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin (18/2). Mensos menyebut, saat dilakukan sinkronisasi, bukan 30 juta orang yang tidak masuk DTKS. Tapi, 40 juta. Pihaknya kemudian melakukan cleansing data hingga akhirnya tersisa 30 juta. ”NIK-nya (nomor induk kependudukan, red) gak beres. Ada yang NIK-nya tidak ada, kosong,” katanya. Pria yang akrab disapa Ari ini pun sudah mengkonfimasi pada BPJS Kesehatan. Menurut informasi yang diterimanya, data tersebut merupakan data jamkesmas yang kemudian dilebur dalam JKN menjadi PBI. ”Jadi bukan cleansing tidak selesai loh ya. Sudah cleansing,” ungkap pria yang akrab disapa Ari ini. Kendati demikian, lanjut dia, bukan berarti peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas III BPJS Kesehatan, yang tengah dipersoalkan kenaikan iurannnya pasti orang miskin. Menurutnya, ini yang nantinya harus dicek ulang. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendorong pemerintah daerah (pemda) melakukan pemutakhiran data. Sebab, kewenangan ini berada di tangan pemda sepenuhnya. ”Harus ketemu Kemendagri. Karena mereka yang punya aparat hingga tingkat desa. Nanti prosesnya, daerah mengusulkan lalu kita validasi lagi,” tegasnya. Diakuinya, prosesnya pun tidak bisa cepat. Sebab, data yang dievaluasi cukup besar. Tapi dia memastikan, nantinya, jumlah yang dikeluarkan sama dengan yang dimasukkan untuk menggantikan. ”Yang kita bahas ini kan memang soal PBPU Kelas III. Saya tadi usulkan 19 juta orang ini masuk DTKS, tapi kita cek dulu,” tegasnya. Fakta tersebut sontak membuat sejumlah anggota DPR berang. Saleh Daulay, anggota Komisi IX mengeluhkan, soal dana kapitasi yang sudah dikeluarkan tapi tak jelas ke mana. Bahkan, bisa jadi malah menyasar mereka yang kaya. ”Bayangkan itu dana kapitasinya berapa yang dikelurakan,” keluhnya. Melihat fakta ini, Politisi Partai PAN tersebut mendesak agar kenaikan iuran PBPU kelas III dibatalkan sebelum adanya perbaikan data. ”Kita harus kasih target, karena gak mungkin selesai dua bulan. Bisa dua tiga tahun ini,” ungkapnya. (jpg)
Tolak Batalkan Kenaikan Iuran BPJS, 30 Juta PBI Tak Masuk Dalam Data Warga Miskin
Rabu 19-02-2020,07:21 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :