Dana BOS Picu Masalah Baru, Pemda Bakal Lepas Tangan

Jumat 14-02-2020,07:26 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA-Sebesar 50 persen, dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) boleh untuk menggaji guru honorer. Tapi tidak semua guru honorer. Hanya yang sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang bisa diupah dari dana BOS. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, hingga 18 Desember 2019 sebanyak 53 persen dari total 1.498.344 guru honorer belum memiliki NUPTK. Sedangkan jumlah guru honorer yang sudah memiliki NUPTK per tanggal 18 Desember 2019, sebanyak 708.963 orang atau 47 persen. "Mereka ini memenuhi syarat pertama untuk mendapatkan alokasi dana BOS maksimum 50 persen," kata Mendikbud Nadiem Makarim, Kamis (13/2). Nadiem juga menambahkan, bahwa guru honorer yang berhak mendapatkan gaji dari dana BOS itu harus berkinerja baik dan sudah lama mengabdi. "Untuk guru honorer baru, tidak berhak mendapatkan fasilitas tersebut. Makanya ada syarat-syaratnya yaitu harus punya NUPTK, tidak memiliki sertifikat pendidik, dan terdata didapodik per 31 Desember 2019," terangnya. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menilai, bahwa kebijakan gaji guru honorer diambil dari dana BOS berpotensi melahirkan masalah baru di sekolah. Menurutnya, ini akan membuat pemerintah daerah (pemda) menganggap urusan honorer sudah ditangani oleh pemerintah pusat lewat dana BOS. "Maka itu kemungkinan besar mayoritas pemerintah daerah akan lepas tangan terhadap pendapatan guru honorer," katanya. Terlebih lagi, dalam kebijakan tersebut Kemendikbud menerapkan aturan yang berhak mendapatkan dana BOS 50 persen itu hanya guru honorer yang memiliki NUPTK. Padahal, masih banyak guru yang tidak memiliki NUPTK. "Apabila guru non-PNS yang tidak memiliki NUPTK dan tidak terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik) dikeluarkan, maka sekolah akan kekurangan guru. Hal ini tentunya menjadi persoalan baru," terangnya. Dengan demikian, Ramli memperkirakan bakal ada kemungkinan kepala sekolah mengakalinya, tetap mempekerjakan guru-guru yang tidak memiliki NUPTK dengan mengatasnamakan guru-guru ber-NUPTK. "Sekolah bisa menjadi ladang kebohongan serta kepura-puraan dan kepala sekolah dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas dalam dunia pendidikan yakni memperkerjakan guru honorer, yang tidak memiliki NUPTK, namun mengatasnamakan guru dengan NUPTK," tuturnya. Wakil Sekjen (Wasekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, kebijakan baru dana BOS untuk gaji guru honorer berpotensi diskriminatif. Pasalnya, untuk mendapatkan alokasi tersebut, guru honorer harus memiliki NUPTK. Sementara pada kenyataannya, sangat banyak guru honorer baik di sekolah negeri maupun di sekolah swasta yang belum punya NUPTK. “Untuk mendapatkan NUPTK itu ribet dan menyusahkan guru. Ini menjadi salah satu penyebab banyaknya guru honorer belum mendapatkan NUPTK. Dengan prasyarat NUPTK ini, guru honorer tidak akan memperoleh upah dari dana BOS. Inilah potensi diskriminasi yang dimaksud,” kata Satriwan. Menurut Satriwan, semestinya upah guru honorer itu menjadi tanggung jawab pemda melalui APBD atau bersama dengan pemerintah pusat, bukan melalui dana BOS. "Inilah yang kami dorong, agar pemerintah daerah patuh kepada perintah UUD 1945 Pasal 31 tentang anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD dan APBN," ujarnya. Satriwan menyebutkan, potensi diskriminasi berikutnya adalah ada persyaratan guru honorer tersebut belum memiliki sertifikat pendidik. Artinya, guru yang sudah menerima tunjangan profesi guru (TPG) tidak bisa menerima upah dari BOS. Padahal, dalam UU Guru dan Dosen, antara TPG dan gaji guru berada dalam pasal yang berbeda. TPG berada di Pasal 16, sementara gaji guru berada di Pasal 15. "Lalu dari mana mereka akan mendapatkan upah? Padahal TPG dan gaji itu kan berbeda substansinya. TPG dibayar sebagai konsekuensi perolehan sertifikat pendidik yang diperoleh guru dari profesionalitasnya dalam menjalankan tugas profesi," pungkasnya. (der/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait