Dewas Jangan Menghambat Penindakan KPK

Kamis 26-12-2019,03:54 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik lima komisioner dan lima Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Jumat (20/12) di Istana Negara Jakarta. Para Dewas KPK yang telah dilantik ialah Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan pimpinan KPK), Harjono (Ketua DKPP), Albertina Ho (hakim), Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), dan Syamsudin Haris (peneliti LIPI). Tentunya banyak harapan yang dipercayakan kepada mereka yang telah bersumpah jabatan menjadi Dewas KPK. Namun, Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi menilai masih ada persoalan serta hambatan yang akan dihadapi Dewas KPK. Salah satunya, menyelaraskan standar minimum yang telanjur di atur dalam pasal-pasal UU No 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua UU KPK yang dikhawatirkan akan menjadi penghambat. Terutama aspek penyadapan yang membutuhkan perizinan Dewas KPK yang sebelumnya tidak ada dan berkemungkinan akan menjadi penghambat dalam persoalan kecepatan penindakan di KPK. "Koordinasi dua organ rumah tangga ini harus dipastikan smooth dan jangan sampai mengganggu dalam pengungkapan kasus-kasus besar," kata Rizqi Azmi dalam keterangannya, Rabu (25/12). Rizqi juga menyoroti betapa pentingnya koordinasi cepat tanggap di antara kedua organ KPK untuk mengatasi beberapa catatan penting dalam pemberantasan korupsi 2019-2023 yang berkemungkinan akan menjadi tantangan besar mengawal Proyek Strategis Nasional dan Pilkada 2020. “Aksi cepat tanggap dewan pengawas sangat di perlukan di rumah tangga baru KPK. Karena semua bola panas akan dilemparkan ke Dewas dan pimpinan KPK akan menunggu bola tersebut dingin dan baru di gelindingkan," tuturnya. Ia melanjutkan, penolakan terhadap pola baru tentang penyadapan di UU KPK terbaru ini sebenarnya beralasan, mengingat presiden melakukan usaha yang keras dalam menggenjot proyek strategi nasional dan mengeluarkan Omnibus Law sebagai pemicu. Sementara, hampir dipastikan dalam setiap proyek yang ada di negara ini tidak lepas dari "hantu korupsi". Terlebih, saat ini investasi dibuka seluas-luasnya. Ia pun mewanti-wanti ihwal Pilkada 2020 yang ada di depan mata dan harus diawasi dalam target yang maksimal agar terbebas dari politik uang. Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Refly Harun, melihat masih ada persoalan terkait Dewas KPK pada tataran kelembagaannya. "Permasalahannya bukan di orang (yang ditunjuk sebagai Dewas KPK) sekarang, tapi di kelembagaan Dewas itu sendiri," jelas Refly saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (24/12). Dewas KPK, kata Refly, adalah lembaga yang memiliki kewenangan yang amat kuat. Selain bisa melakukan pengawasan terhadap komisoner dan pegawai KPK, Dewas KPK juga bisa menjadi pintu pemberi izin tindakan yang dilakukan oleh KPK. "Ketiga, menyengketakan pelanggaran kode etik pimpinan KPK dan pegawai. Bayangkan, tidak hanya pimpinan, tapi juga pegawai. Jadi, luar biasa," jelas dia. Menurut Refly, dari semua kewenangan yang dimiliki Dewas KPK tersebut, mereka tidak diatur oleh satu pun kode etik. Tidak ada batasan-batasan yang dapat mengatur tindakan mereka dalam pekerjaannya ke depan. Karena itu, ia melihat amat penting bagi Dewas KPK periode pertama ini untuk membentuk kode etik. Dewas KPK saat ini bukan hanya perlu membentuk kode etik untuk pimpinan dan karyawan KPk saja, tetapi juga untuk diri mereka sendiri."Selain dia membentuk kode etik untuk karyawan KPK dan pimpinan, ya dia juga harus membentuk kode etik bagi diri mereka sendiri. Misalnya menjaga conflict of interest dan lain sebagainya," ungkap Refly. Refly juga mempersoalkan Dewas KPK yang menambah panjang birokrasi penindakan. Ia mengatakan, orientasi kerja KPK semestinya seimbang. KPK harus bekerja tidak hanya pada pencegahan saja. "Pencegahan itu is a must, tetapi jangan lupa, pencegahan itu kan karya semua orang, tugas semua orang, semua lembaga, bahkan saya katakan dipimpin Presiden," ujar dia. KPK, kata dia, harus juga berorientasi pada penindakan. Itu karena hanya ada tiga lembaga di negara ini yang memiliki kewenangan untuk melakukan pendindakan tindak pidana korupsi, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan. "Hanya tiga lembaga yang punya kewenangan untuk melakukan penindakan. KPK, kepolisian, kejaksaan. jadi tiga lembaga ini harus kuat semua," tuturnya. Untuk sementara, dia mengatakan, Dewas KPK diisi oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas baik. Hal yang ia khawatirkan ialah jika ke depan Dewas KPK diisi oleh orang-orang yang tidak cukup baik seperti yang ada saat ini. "Sementara ini kan diisi oleh orang yang lumayan, kalau diisi orang yang nggak lumayan kan susah karena kelembagaan Dewas itu kelembagaan yang uncheck dan unbalance," katanya. Saat dikonfirmasi ihwal kegiatan Dewas KPK di hari pertamanya, Anggota Dewas KPK, Harjono mengaku masih menunggu Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi landasan mereka bekerja. "Masih tunggu aturan Perpres-nya," kata dia saat dikonfirmasi, Senin (23/12). Diketahui, Perpres dari Presiden Jokowi memang diperlukan lantaran belum ada aturan turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mendasari terbentuknya Dewas KPK sebagai organ baru di tubuh lembaga antirasuah tersebut. Harjono mengatakan, saat ini sedang berkoordinasi dengan empat anggota Dewas lainnya terkait dengan pelaksanaan tugas. "Masih koordinasi dengan yang lain," katanya. (rep)

Tags :
Kategori :

Terkait