Presiden Joko Widodo menyinggung banyaknya peraturan tentang program cipta lapangan kerja di Kantor Presiden kemarin (11/11). Diantara yang dia sorot adalah banyaknya peraturan menteri (permen). Dia menegaskan perbaikan ekosistem regulasi mendukung cipta lapangan kerja. Jokowi mencontohkan kondisi birokrasi di Amerika Serikat (AS). Di sana setiap menteri yang akan mengeluarkan permen baru, harus mencabut dua permen sebelumnya. ’’Di sini juga mestinya bisa seperti itu,’’ jelasnya. Ketika ada menteri yang akan mengeluarkan permen, maka harus bisa mencabut sejumlah permen yang sudah ada. Sebab dia sekali lagi menegaskan, di Indonesia sudah terlalu banyak permen. Untuk urusan penciptaan lapangan kerja dia juga menyinggung soal budaya birokrasi. Dia mengatakan sebaik apapun peraturan, jika birokratnya belum berubah tetap akan menjadi masalah. Birokrat yang tidak menjalankan budaya reformasi birokrasi malah bisa menyumbat. ’’Oleh karena itu reformasi birokrasi harus dilakukan besar-besaran. Beriringan paralel dengan pemangkasan regulasi-regulasi,’’ tuturnya. Jokowi mengingatkan birokrasi harus mengubah cari kerja dari yang manual atau analog ke cara-cara digital. Selain itu juga mengubah midset dari dilayani menjadi melayani. Berikutnya Jokowi juga meminta Mendagri Tito Karnavian menata tata hubungan pemerintah pusat dengan daerah. Baik itu provinsi, kota, atau kabupaten. Sehingga pemerintah pusat dan daerah semuanya satu garis beriringan dalam cipta lapangan kerja. Dia menegaskan antara gubernur, walikota, sampai DPRD harus semuanya paham dan satu garis tentang urgensi cipta lapangan kerja. Sementara itu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UMKM) Teten Masduki mengatakan, pemerintah akan melebur Undang-undang (UU) Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM menjadi satu. Peleburan itu dalam rangka mendukung langkah Presiden Jokowi untuk program Omnibus Law. ‘’Untuk undang-undang UMKM dan koperasi tidak perlu sendiri. Jadi bisa diintegrasikan dengan Omnibus Law untuk penciptaan lapangan kerja,’’ ujar Teten saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, kemarin (11/11). Teten mengatakan, penyederhanaan tersebut akan membuat adanya harmonisasi aturan antara satu dengan lainnya menjadi terintegrasi. Namun, masih ada beberapa poin yang harus dibahas agar tidak mengabaikan kepentingan antar usaha. ‘’Jadi kami hanya perlu pengecualian dan beberapa regulasi yang memang playing fieldnya tidak bisa sama untuk usaha besar dan kecil. Di bidang pembiayaan, bidang perizinan, soal sertifikasi. Jadi akan satu. Rencananya dua jadi satu,’’ jelasnya. Terpisah, Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut wacana kebijakan Omnibus Law memang sejauh ini direspons positif oleh investor. ‘’Tapi, tetap saja, yang paling penting sebetulnya adalah sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,’’ ujarnya kepada Jawa Pos. Menurut Bhima, Omnibus Law berpotensi menjadi tidak efektif seandainya tidak dibarengi dengan penyederhanaan birokrasi. Penyederhanaan regulasi harus disertai dengan pemangkasan reformasi birokrasi. Hal itu, lanjut Bhima, disebabkan karena keputusan investasi memang harus didesentralisasi ke daerah. Sehingga harus dibicarakan dengan baik dengan daerah. ‘’Belum lagi, kebijakan Omnibus Law juga kan pasti perlu waktu adaptasi ke berbagai aspek. Kalau dilihat, kebijakan itu kira-kira membutuhkan waktu penyesuaian antara enam bulan hingga satu tahun,’’ katanya. (jpg)
Menciptakan Lapangan Kerja, Gubernur, Walikota, Bupati dan DPRD Harus Satu Garis
Selasa 12-11-2019,05:38 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :