Iuran BPJS Naik, Menkes Jamin Kualitas Lebih Baik

Kamis 31-10-2019,05:04 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA-Iuran BPJS Kesehatan resmi naik hingga 100 persen atau hingga Rp 160 ribu. Kenaikan itu telah disetuji Presiden Jokwi melalui Perpres No.75 tahun 2019. Besaran kenaikan sesuai dengan rekomendasi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat bersama Komisi IX DPR RI Agustus lalu. Perpres sebagai produk hukum terbaru tersebut telah ditetapkan per tanggal 24 Oktober 2019 dan mulai berlaku sesuai dengan tanggal diundangkan. Dalam Perpres 75/2019 besaran iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang ditanggung APBN maupun peserta yang didaftarkan oleh pemerintah daerah (PBI daerah) sebesar Rp42 ribu. Iuran ini mulai berlaku sejak 1 Agustus 2019. Sementara pemerintah pusat memberikan bantuan pendanaan kepada pemda sebesar Rp19 ribu per peserta per bulan sejak Agustus 2019. Bantuan tersebut untuk menutupi selisih kenaikan iuran di 2019. Tarif Rp42 ribu, juga ditetapkan untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta Bukan Pekerja (BP) dengan layanan kelas III. Sementara untuk PBPU dan Bukan Pekerja kelas II sebesar Rp110 ribu, dan kelas I sebesar Rp160 ribu. Besaran iuran bagi peserta PBPU dan BP akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Untuk besaran tarif bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) baik ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, dan karyawan swasta yaitu 5 persen dari upah per bulan, dengan batas maksimal upah sebesar Rp12 juta. Ketentuan 5 persen tersebut yakni 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja, dan 1 persen dibayarkan peserta melalui pemotongan gaji. Ketentuan besaran iuran untuk peserta PPU ASN, TNI-Polri, pegawai BUMN, mulai berlaku per 1 Oktober 2019. Sementara untuk PPU dari badan usaha swasta mulai berlaku per 1 Januari 2020. Kenaikan tarif BPJS Kesehatan akan sejalan dengan peningkatan kualitas layanan fasilitas kesehatan. Jaminan itu langsung diberikan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. "Jelas, mosok naik tok tanpa pembenahan, pasti pelayanan dibenahi," kata Terawan di Jakarta, Rabu (30/10). Menurutnya, baik buruknya pelayanan kesehatan di rumah sakit bergantung pada keuangan rumah sakit itu sendiri. Terlebih keuangan rumah sakit sebagian besar bersumber dari klaim BPJS Kesehatan. Dia memahami yang dibutuhkan rumah sakit adalah iklim investasi yang baik dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional. "Selama keuangan rumah sakit baik, otomatis rumah sakit akan melakukan perbaikan, itu otomatis," kata mantan Kepala RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto tersebut. Sebagai contoh, menurutnya panjangnya antrean pasien di sebuah rumah sakit diakibatkan karena banyaknya jumlah masyarakat yang berobat dibandingkan kemampuan rumah sakit itu sendiri. Jika keuangan BPJS Kesehatan tak lagi defisit dan mampu membayar klaim pada RS tepat waktu, maka pihak RS bisa melakukan pembangunan atau investasi baru. "Makanya kalau iklim investasi bisa jalan dengan pola BPJS yang baik tanpa defisit, pasti akan terjadi pembangunan sarana lagi. Kalau pembangunan sarana ditambah, antrean akan terurai dengan sendiri," terangnya. Dia pun akan bertanggung jawab untuk memastikan layanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit kepada peserta JKN berkualitas. "Ya, tugas saya selaku pengawas dan selaku pemberi izin rumah sakit," tegasnya. Sementara peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan membuat peserta akan menurunkan kelasnya. "Saya punya data panel orang yang sama, tahun 2015 dibandingkan tahun 2017 itu kelasnya beda-beda semua. Rata-rata turun kelas karena ada kenaikan iuran," kata Teguh. Pemerintah pada 2016 sempat menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Meski demikian, Teguh menegaskan program Jaminan Kesehatan Nasional tetap harus dilanjutkan dan BPJS Kesehatan tidak boleh bangkrut hanya karena defisit keuangan. "Intinya adalah kita harus paham bahwa kita nggak boleh mundur. Ini adalah sistem yang kita bangun untuk investasi masa depan, mau tidak mau, kita harus pegang ke depan memandangnya sebagai investasi. Ada dampak positif jangka panjang dan pendek," kata Teguh. Dia menekankan keberlangsungan program JKN bisa bertahan lama jika dilakukan upaya promotif dan preventif untuk mencegah masyarakat jatuh sakit. "Tanpa adanya upaya pencegahan penyakit dan edukasi promosi kesehatan kepada masyarakat, jumlah peserta JKN yang sakit akan terus bertambah dan tentu akan membebani program JKN," katanya. "Kesimpulannya adalah keberlanjutan keuangan pada sistem ini tergantung dari promotif dan preventif care," tegasnya. (gw/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait