JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menilai, kondisi asap di Riau tidak separah yang diberitakan. Hal itu ia katakan setelah melakukan kunjungan langsung ke Riau bersama dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. "Ketika saya melihat dengan presiden antara realitas dengan yang dikabarkan, dengan yang ada, itu sangat berbeda. Ternyata kemarin waktu kita di Riau tidak separah yang diberitakan," kata Wiranto saat konferensi pers yang dilaksanakan di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (18/9). Wiranto mengatakan, ketika ia berada di Riau, jarak pandang masih cukup baik. Dengan jarak pandang tersebut, pesawat yang ia gunakan bersama dengan presiden masih bisa melakukan pendaratan. Masyarakat di sana pun ia lihat tidak menggunakan masker. "Pesawat mendarat masih bisa, masyarakat juga belum banyak yang pakai masker dan sebagainya. Kita pun juga tidak pake masker. Karena pada saat siang sangat jelas awan-awan terlihat," tuturnya. Ia berharap kondisi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) beserta asapnya dapat dibereskan sesegera mungkin. Menurut dia, seluruh elemen tidak perlu saling menyalahkan karena persoalan tersebut merupakan persoalan yang harus dihadapi bersama-sama. "Tidak hanya tugas pemerintah, tapi juga tugas kita bersama, titik-titik api semakin lama semakin berkurang. Memang kemarin secara penegakan hukum, kita sudah mengancam kepada para pembakar, apakah koorporasi atau perorangan agar diberi hukuman yang setimpal dan tegas," katanya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk kolaborasi antara pemerintah dan daerah mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan, instansi pemerintah tidak dapat mengatasi masalah karhutla sendirian, solusinya butuh sinergi semua pihak. "Karhutla adalah ancaman permanen, maka solusinya juga harus permanen" kata Doni seperti dalam keterangan tertulis seperti dilansir Republika,co.id, Rabu (18/9). Salah satunya, dia melanjutkan, yaitu sinergi pentahelix, yakni pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media, dan akademisi. Fakta di lapangan, pemerintah daerah yang dapat menjadi ujung tombak dalam pemadaman api sebelum membesar. Selain itu, pola pencegahan lainnya adalah mengetatkan perolehan izin lingkungan, kewenangan yang dimiliki bupati atau kepala daerah. Di samping itu pemimpin daerah juga wajib melakukan pengawasan, memberikan sanksi atau tindakan administratif bagi yang melanggar. "Tidak semua permasalahan pemadaman diserahkan ke pemerintah pusat. Jika Kepala Daerahnya dapat menjadi contoh, elemen dibawahnya pasti juga mengikuti," katanya. Ia menyontohkan pemimpin daerah yang peduli dengan lingkungannya adalah Gubernur Jawa Tengah. Saat kebakaran hutan di Gunung Merbabu, Gubernur Jawa Tengah mau turun tangan ke lapangan. "Hal ini yang menjadi contoh, untuk aparat terkait dan masyarakat mau ikut berperan aktif memadamkan api" ujar Doni. Ia menyebutkan, motif dari pembakar hutan adalah Land Clearing, karena lebih murah dan 99 persen karhutla akibat ulah manusia. Fenomena alam el nino lemah juga yang menyebabkan kemarau panjang sehingga curah hujan sedikit dan api sulit dipadamkan. "Berdasarkan data yang saya kumpulkan semenjak 6 bulan dilantik. Karhutla disebabkan oleh manusia, 80 persen lahan terbakar berubah menjadi lahan perkebunan," ujarnya. Ia menjelaskan, Indonesia memiliki 14,3 juta hektare perkebunan kelapa sawit. Doni juga memberikan solusi kedepannya, tidak hanya kelapa sawit yang dapat menguntungkan, tetapi fakta sejarah mencatat hasil rempah-rempah Indonesia lainnya juga menghasilkan. Sejarah mencatat VOC Belanda, menghasilkan 7,9 triliun dolar AS. Salah satunya pohon yang dapat menghasilkan uang lebih banyak seperti pohon Nilam dan Masoya, yang bernilai lebih sebagai bahan dasar parfum merk terkenal. "Pembakar hutan adalah kejahatan yang luar biasa. Tantangan kedepannya adalah mengubah perilaku masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar," katanya. Selain itu, ia menyebutkan penegakkan hukum terhadap pembakar. Adanya kelapa sawit ilegal ditengah hutan lindung yang diutarakan Kordinator Jakalahari. Pemerintah dan DPR harus bekerjasama mendukung untuk menindak tegas mafia yang menanam pohon sawit ilegal tersebut. Polri mencatat sudah ada 196 kasus, dengan 218 tersangka perorangan, dan lima korporasi tersangka di tahun 2019.(rep)
Wiranto: Asap di Riau tak Parah
Kamis 19-09-2019,03:52 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :