Inkindo: Tekan Biaya Pemindahan ibukota

Senin 02-09-2019,03:42 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA -- Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) meminta pemerintah menekan pembiayaan yang akan dikeluarkan dalam pemindahan ibukota negara. "Caranya bisa dikreasi mengombinasikan pembiayaan APBN dengan pembiayaan BUMN maupun swasta," kata Ketua Umum Inkindo, Peter Frans di Jakarta, Ahad (1/9). Menurut Peter, skema kerja sama dapat dikreasi dan diinisiasi melalui platform optimalisasi dan bukan minimisasi atau bahkan maksimalisasi. "Bagaimanapun, minimalisasi pembiayaan oleh APBN di satu sisi memang banyak membawa manfaat bagi publik, namun dalam pelaksanaannya akan banyak kekurangan," katanya. Demikian juga kalau maksimalisasi pembiayaan oleh non-pemerintah akan berpotensi menimbulkan peningkatan komersialisasi di setiap komponen kota secara signifikan. Menurut Peter, bila platformnya berbasis ekonomi dan industrialisasi, maka dapat menggeser fungsi ibukota negara yang awalnya di desain sebagai kota pemerintah, pada akhirnya menjadi kota bisnis. Pada gilirannya akan membawa dampak terulangnya masalah seperti Jakarta (fenomena Jakartanisasi). "Penciptaan komposisi pembiayaan pembangunan ibu kota negara yang ideal adalah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh pemerintah," ujar Peter. Peter juga berpendapat pemindahan ibukota negara sebaiknya tidak dikaitkan dengan agenda untuk mengatasi ketidakseimbangan antara barat dan timur Indonesia. Yaitu dari perspektif ekonomi atau sering dikatakan sebagai skenario pemerataan pembangunan nasional. "Hal ini karena untuk kebutuhan pemerataan pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi diperlukan mobilisasi sumber-sumber daya ekonomi, yang tidak mungkin dilakukan secara bersamaan dengan skenario pemindahan ibukota negara," ujarnya. Peter menjelaskan, target utama pemindahan ibukota negarasebaiknya terfokus pada pemilihan atau penentuan kawasan terpilih, pembangunan kota baru serta pengembangan kegiatan pemerintahan termasuk kegiatan-kegiatan penopangnya. Peter juga menjelaskan pentingnya pengendalian dan pengaturan yang ketat tata ruang di ibukota negara nantinya. Berarti semua kegiatan bisnis komersial harus benar-benar dirancang untuk melayani pusat pemerintah dan pendukungnya. Pemindahan ibukota negara juga harus memasukkan kriteria kota modern yang smart, green dan forestry. Termasuk sarana dan prasarana pendukungnya serta harus menjadi ikon Indonesia baru yang beragam dari Aceh sampai Papua. "Memindahkan ibukota negara juga memindahkan peradaban termasuk dengan segala aspek ikutannya. Ini semua harus dimasukkan ke dalam biaya," ujar Peter. Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru menyebut Jakarta tetap memegang peranan penting sebagai pusat ekonomi nusantara, meski nantinya tidak lagi menjadi ibukota negara. Karenanya, ia melihat pembenahan Jakarta tetap diperlukan. "Saatnya jejak-jejak ekologis yang dipijak di daerah ini diringankan dengan membenahi fasilitas dan infrastruktur yang kelak ditinggal lembaga pemerintah pusat di kemudian hari," ujarnya, seperti dilansir Antara, Minggu (1/9). Beberapa hal yang dapat dijadikan perhatian, yakni pembenahan aspek keramahan lingkungan, seperti peredaman kebisingan, ruang terbuka hijau (RTH) dan penataan infrastruktur jalan. Hal itu perlu dilakukan menimbang Jakarta bisa saja diberikan otonomi daerah dan kemungkinan tidak berbenturan banyak kepentingan. Sehingga, menurut Diheim, pengelolaannya menjadi lebih leluasa. Sebab, Jakarta yang berpotensi menjadi destinasi wisata, sambung dia, rentan terkena bencana alam, seperti banjir dan gempa. Ia juga menyoroti pengelolaan air di Jakarta yang banyak menyerap air tanah, sehingga memicu kenaikan permukaan air. Kemudian, pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan biopori yang memadai dapat menjadi opsi untuk memitigasi, sekaligus membenahi infrastruktur sistem trotoar yang lebih ramah untuk pejalan kaki.(Antara/repbir)

Tags :
Kategori :

Terkait