Data-data pribadi laku dijual. Nomor handphone (HP), Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), sangat dibutuhkan perusahaan asuransi, perbankan dan perusahaan jasa keuangan lainnya. Tak aneh, jika tiba-tiba kita mendapat SMS dari perusahaan yang menawarkan pinjaman uang, barang bahkan hingga mengajak judi online. Padahal kita tidak pernah memberikan nomor HP ke perusahaan tersebut. Jangan pernah meng-upload KK, KTP dan nomor HP di medsos. Menurut Dosen dan Peneliti Program Doktor Psikologi Universitas Gunadarma, Matrissya Herminta menekankan, para netizen harusnya mulai bisa membatasi diri untuk mengunggah informasi secukupnya saja di jejaring pertemanan. Karena, para penjahat siber bisa menggunakan data-data yang di-share di medsos tersebut untuk menipu. Keteledoran inilah yang kemudian mengundang banyak penjahat siber. Tanpa perlu repot-repot melakukan teknik hacking yang canggih, para penipu online cukup muda melakukan aksi tipu-tipu menggunakan data pribadi yang didapat dari medsos. "Sesuatu hal yang disebar di media sosial, efeknya lebih cepat menyebar, bisa positif dan negatif. Daripada lewat media konvensional. Karena itu, kita harus membuat profil yang secukupnya saja," jelas Matrissya dalam seminar 'Indonesia dan Ancaman Siber yang Merajalela' di Universitas Gunadarma, TB Simatupang, Jakarta, seperti dilansir detik.com Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Senin (19/6), menjatuhkan hukuman 9 bulan penjara dan denda Rp 9 miliar kepada Adi Warnadi Ismentin. Majelis hakim memutuskan, Adi terbukti menjual data pribadi orang lain dan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Lalu dari mana Adi mendapatkan daftar nama-nama itu? Ia mengoleksi dari penjual nasabah sebelumnya dan mengumpulkan dari data-data di internet. Semua data nasabah dari berbagai bank, baik bank pelat merah hingga swasta, ia kantongi. Isinya, dari nama, nomor telepon, alamat, tanggal lahir, nomor kartu dan jenis kartu. Setelah ada yang berminat membeli, ia lalu data itu ia simpan dalam CD dan dikirim pakai jasa pengiriman. Satu keping CD dijual Rp 500 ribu hingga Rp 3 juta. Dalam setahun, ia bisa mengantongi untung Rp 60 juta lebih. Gerak-gerik Adi tercium aparat dan diringkus. Ia akhirnya diadili di kursi pesakitan. Majelis akhirnya menjatuhkan pidana 9 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar, apabila denda tidak dibayar maka diganti pidana 1 bulan kurungan. "Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat. Hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan bersifat sopan serta mengakui terus terang perbuatannya," ucap majelis yang diketuai M Irfan dengan anggota Syamsudin dan Roedy Suharso. Belakangan isu jual beli data pribadi dimunculkan Hendra Hendrawan (23) lewat akun Twitternya, @hendralm. Dia mengaku kaget bagaimana bisa data nomor induk kependudukan (NIK) di e-KTP juga data KK warga bebas diperjualbelikan di medsos. Hendra menceritakan, awalnya ada seorang rekan yang ditipu anggota yang bergabung dalam sebuah grup Facebook. Dia pun iseng-iseng bergabung ke grup tersebut. Hendra mengaku resah akan adanya kasus ini. Menurutnya, sejak mencuitkan persoalan ini di Twitter, dia telah dikeluarkan atau diblokir dari grup di Facebook tersebut. Grup itu, menurutnya, juga sudah berganti nama. Pencurian data penduduk bisa dilakukan oknum yang memanfaatkan media sosial (medsos). Bahkan Facebook, Instagram, dan Google dianggap jauh lebih berbahaya bagi privasi warga. Masyarakat diminta jangan mudah memberikan data pribadi jika memang tidak perlu. "Ada saja oknum yang lewat medsos. Bisa lewat google dan sebagainya. Google saja baru kena denda juga kan," ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Jakarta, Selasa (30/7). Kemendagri sebelumnya lewat Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil melaksanakan kerja sama dengan ribuan lembaga keuangan dan pembiayaan swasta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi kebocoran data. Namun, Tjahjo menegaskan bahwa kerja sama Kemendagri dengan lembaga keuangan swasta dilakukan dengan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Kalau MoU dengan perbankan dan lembaga keuangan itu ada rekomendasi jaminan OJK. Jadi clear. Dengan perbankan BPR, asuransi, kemudian lembaga-lembaga finansial. Semua terdata dengan baik," tegas Tjahjo. Dia juga menegaskan pihaknya telah secara resmi melaporkan kasus jual-beli data penduduk ke Bareskrim Polri. Menurutnya, kasus pencurian data penduduk harus diserahkan kepada polisi karena sudah menyangkut kriminal. "Nanti biar polisi yang menyelidiki. Ini sudah masuk ranah kriminal. Biarkan polisi mengusutnya," ucapnya. Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menambahkan Kemendagri telah berkoordinasi dengan Kemkominfo terkait kasus jual-beli data kependudukan di medsos. Kemenkominfo diminta menghapus gambar-gambar yang mengandung unsur data penduduk seperti Kartu Keluarga (KK) dan KTP-elektronik (KTP-el) di internet. "Kominfo akan take down gambar-gambar KTP-el dan Kartu Keluarga yang ada di media sosial itu. Kini Kominfo sedang melakukan profiling," jelas Zudan. Warga diminta tidak meng-upload gambar KTP maupun KK secara utuh, melainkan harus dikaburkan alias blur. Zudan berharap peristiwa ini dapat menjadi pelajaran semua pihak untuk berhati-hati dalam mengunggah data kependudukan di internet. "Data itu rentan. Apalagi ketika data kita sering diberikan ke mana-mana," imbuhnya. Karena itu, lanjutnya pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDB). Ada tiga poin yang menjadi fokus RUU tersebut untuk mencegah penyebaran data. "Pertama pengumpulan datanya harus benar. Kedua penyimpanan datanya harus benar, yang ketiga pemanfaatan datanya harus benar," paparnya. Dia menjelaskan masyarakat perlu mengerti soal penggunaan data kependudukan. Selain itu, lembaga-lembaga tidak boleh menggunakan data kependudukan kecuali sedang bertransaksi dengan orang yang bersangkutan. "Jadi bank hanya boleh membuka data seseorang jika yang bersangkutan sedang bertransaksi dengan bank. Begitu juga dengan asuransi juga sama," ucapnya. Menurutnya, ada sekitar 33 peraturan yang tersebar dan akan diabstraksikan dengan omnibus law menjadi satu undang-undang. "RUU PDB sudah dibahas. Jadi akan dibuat seperti omnibus law. Ada 32 atau 33 peraturan yang tersebar kemudian diabstraksikan menjadi satu undang-undang peraturan Perlindungan Data Pribadi," lanjutnya. Terpisah, pakar keamanan siber, Pratama Persadha menilai Facebook, Instagram, dan Google jauh lebih berbahaya bagi privasi warganet. Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) ini di beberapa negara terdapat imbauan khusus kepada para pejabat atau anggota militer untuk tidak menggunakan media sosial dan aplikasi serupa. Bahkan, banyak instansi pemerintah terkait dengan pertahanan diwajibkan menggunakan smartphone yang tidak dilengkapi kamera. "Hikmah dari peristiwa ini adalah masyarakat jadi mulai mengikuti isu keamanan data pribadi. Sebenarnya memakai smartphone juga berarti mengekspos privasi kita," jelas Pratama.(rh/fin)
Jangan Upload Data Pribadi di Medsos
Rabu 31-07-2019,05:11 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :