JAKARTA— Polemik ajakan golput dikritisi oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD. Mantan Menteri Pertahanan itu menilai bahwa secara hukum golput bukan masalah. Yang melanggar itu bila menghalang-halangi atau mengintimidasi orang untuk tidak memilih. Mahfud menjelaskan, memilih itu merupakan hak dan golput juga merupakan hak. Tapi, secara politik diharapkan tidak ada golput. Karena bagaimanapun kondisinya, negara ini harus melahirkan pemimpin dan wakil rakyat. ”Golput mengurangi legitimasi pemilu, tapi tidak ada legalitasnya,” ujarnya. Mengajak seseorang untuk golput juga tidak bisa dipidana. Berbeda dengan menghalang-halangi. "Saya mau tanya, pakai pasal yang mana? mau pake teror (UU Teroris), teror bukan, mau pake hoaks, hoaks bukan," tegasnya usai seminar melawan hoaks di Balai Kartini, Jakarta, kemarin (28/3). Dewan Pengarah Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) itu menilai daripada mengancam dengan UU ITE, lebih baik mengajak masyarakat untuk tidak golput sebagai tanggung jawab moral. "Mengajak itu terang-terangan. Bukan berita hoaks, tetapi kalau menghalang-halangi, misalnya sudah kamu jangan milih nanti saya kerangkeng misalnya, saya sikat. Nah, itu jelas menghalang-halangi," timpal pria kelahiran Sampang, 13 Mei 1957 itu. Bila hanya mengajak golput tentunya tidak ada pasal yang bisa digunakan. Namun, tentunya golput ini justru harus diajak untuk memilih ”Sebagai tanggungjawab moral, negara ini milik kita bersama,” ujarnya. Prinsipnya, pemilu itu tidak akan melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang ideal. Namun, melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang relative lebih baik. ”Dari yang satunya kurang baik, menjadi lebih baik. Kan gitu,” jelasnya. Menurutnya, masyarakat perlu memahami perbedaan golput zaman orde baru dan sekarang. Saat orde baru, golput itu tidak ada ruginya. ”Sebab, pemilu digelar dengan tidak fair. Suara sudah dibagi sedemikian rupa, dikavling, ini harus kecil dan ini harus besar. Sudah banyak penelitian soal itu,” tuturnya. Pemilu saat ini, lanjutnya, diselenggarakan oleh masyarakat sendiri. Kalau ada kecurangan-kecurangan itu antar peserta yang terjadi. ”Bukan seperti dulu yang curang itu pemerintahnya,” terang guru besar hukum tata negara tersebut. Karena itu, kalau golput itu sekarang merugi. Sebab, tidak bisa memiliki pemimpin dan wakil rakyat yang lebih baik. ”Itu kerugiannya, bisa jadi karena golput yang kurang baik memimpin,” paparnya. Terpisah Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi menegaskan ada langkah-langkah antisipasi yang diambil supaya potensi ancaman yang sudah tampak sejak jauh hari bisa diredam. Sehingga tidak muncul ketika hari pemilihan tiba. Termasuk di antaranya ancaman di dunia siber. "Tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia tak luput dari adanya potensi ancaman serangan siber," ungkap Djoko Setiadi. Menurut Djoko, sejak Pemilu 2004, serangan siber sebenarnya sudah ada. Karena itu, bukan tidak mungkin pemilu tahun ini juga disasar untuk diserang melalui jalur siber. "Potensi atau tren ancaman siber yang akan terjadi pada Pemilu 2019 di Indonesia adalah hack, leak, dan amplify," ungkap dia. Tiga kategori tersebut saat ini menjadi perhatian BSSN. Sebab, yang menjadi target bukan hanya penyelenggara pemilu. Peserta pemilu atau pemilih pun disasar. Djoko menyampaikan, bila tiga kategori serangan tersebut dilancarkan secara masif dan tidak ditangkal atau dilawan, gangguan yang timbul sangat besar. Karena itu, BSSN juga terlibat untuk mengamankan jalannya pemilu sampai tuntas. Bukan hanya pada tahap pemilihan, tapi sampai tahap pelantikan kontestan terpilih. Ada tiga strategi, terang Djoko, yang sudah dilaksanakan instansinya. Mulai penguatan keamanan aplikasi pemilu, penguatan infrastruktur teknologi informasi KPU, hingga edukasi berupa pengayaan literasi kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pemilu. (fin/idr)
Golput Dijerat Pasal Apa?
Jumat 29-03-2019,06:08 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :