JAKARTA -- Rencana Bulog yang ingin melakukan ekspor beras meragukan karena hal tersebut merupakan ide yang tidak rasional dalam kondisi saat ini. Pasalnya, saat ini, harga beras di tingkat petani yang berada pada kisaran Rp 10.000 per kilogram sudah lebih mahal dari rata-rata harga beras dunia sebesar Rp 5.600 per kilogram. Demikian dikatakan pengamat pertanian Dwi Andreas seperti dikutip republika.co.id, kemarin. Dwi Andreas mengatakan, upaya itu tidak akan menguntungkan apalagi harga beras Indonesia lebih mahal dari pasar global. Oleh karena itu, Guru Besar Institut Pertanian (IPB) Bogor ini mengatakan ekspor beras baru mungkin dilakukan apabila beras yang diekspor merupakan beras khusus seperti beras organik. Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama Food Station Tjipinang Jaya Arief Prasetyo Adi mengatakan, harga beras di Indonesia masih belum bisa menyaingi harga beras yang ditawarkan Thailand maupun Vietnam. Padahal, harga menjadi pertimbangan penting dalam proses jual beli komoditas, selain kualitas barang. Menurut dia, upaya untuk mengekspor beras harus dilakukan melalui pembenahan infrastruktur dari sisi produksi hingga setelah masa panen usai atau ada industrialisasi dalam bidang pertanian. "Baiknya dibuat corporate farming dulu, jadi ada lahan khusus untuk ekspor ini. Produktivitas nanti bisa meningkat, misalnya sekarang 5-6 ton per hektare jadi 7-8 ton per hektare," katanya. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution ikut meragukan rencana ekspor beras karena kegiatan ekspor harus dilakukan secara berkelanjutan. Darmin justru mengharapkan adanya upaya untuk mengamankan pasokan dalam negeri agar stabilitas harga beras tetap terjaga ketika tidak sedang memasuki masa panen. Sebelumnya, dalam Rapat Kerja Menteri Pertanian dengan Komiai IV DPR RI, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan, Bulog menargetkan ekspor beras ke sejumlah negara tetangga pada pertengahan 2019. Target ini diprediksi akan berlangsung seusai panen raya pada pertengahan April hingga akhir Mei 2019. "Makanya kita targetkan Januari sampai April itu kita akan menyerap 1,8 juta ton beras dari petani. Kalau ditambah dengan sisa beras kita hasilnya bisa lebih dari 4 juta ton, kan kita masih punya sisa 2,1 juta," kata Budi Waseso yang akrab disapa Buwas ini. Menurut Buwas, alasan lain dari ekspor ini adalah soal kapasitas gudang Bulog yang hanya menampung 3,6 juta ton. Kalau dipaksakan, maka hasilnya bisa merusak beras secara perlahan. Untuk itu, ekspor merupakan langkah tepat untuk efisiensi dan menjamin pengawasan. "Jadi, untuk mengawasi kelebihan itu, saya bekerjasama dengan beberapa menteri, termasuk menteri pertanian, kita harus berupaya ekspor beras ke beberapa negera. Sudah kita petakan dan kita juga sudah membangun komunikasi, ternyata mereka juga membutuhkan beras," ujarnya. Meski demikian, Buwas mengaku belum bisa menjelaskan secara detail berapa total ekspor yang akan berlangsung. Kemungkinan besar, tahap awal yang akan dikirim sekitar kurang lebih 100 ribu ton. "Kita lihat perkembanganya nanti. Yang pasti bagaimana caranya supaya petani tidak dirugikan. Artinya di saat gabah harganya tinggi petani juga harus bisa jual dengan nilai jual yang tinggi. Di saat panen raya harus kita serap. Intinya kita berprinsip petani harus untung dan jangan dirugikan," tuturnya. Buwas menambahkan, sangat hati-hati dalam menjalankan fungsi impor. Untuk komoditas jagung, Bulog mengimpor berdasarkan pesanan dan kebutuhan pengguna. " Kami tidak menjualnya dipasar bebas dan sangat selektif dalam pendistribusiannya. Bulog tidak ingin impor yang dilakukan merugikan petani jagung", ujarnya.(Ant)
Rencana Ekspor Beras Meragukan
Sabtu 26-01-2019,03:35 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :