Jakarta-- Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan tetap menghormati apapun keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait rencana pembebasan narapidana terorisme, Abu Bakar Ba'asyir. Mereka mengaku akan tetap menjaga hubungan kenegaraan dengan Indonesia. "Saya benar-benar menghormati kedaulatan Pemerintah Indonesia atas masalah-masalah ini dan saya menghargai sifat hubungan kami, dengan cara kami yang dapat berhubungan secara konstruktif dengan rasa hormat," kata Morrison dalam keterangan pers seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (23/1). Meski begitu, Morrison tetap mengharapkan keadilan yang sepadan bagi 88 warga Australia yang meninggal dalam insiden Bom Bali I. Para pelaku disebut sebagai anggota jejaring kelompok radikal Jemaah Islamiyah, di mana saat itu Ba'asyir masih duduk sebagai penasihat. "Saya juga dapat meyakinkan warga Australia bahwa pemerintah kita, dan saya sendiri khususnya, telah konsisten dalam menyampaikan pandangan kami tentang perasaan kami mengenai masalah yang sangat penting ini," ujar Morrison. Morrison menyatakan Australia tidak bisa ikut campur dalam sistem peradilan Indonesia. Sebab, Indonesia adalah negara berdaulat yang mempunyai sistem hukum dan berlandaskan kepada undang-undang dasar. Morrison sebelumnya menyatakan kekecewaannya atas keputusan Presiden Joko Widodo yang hendak membebaskan Ba'asyir. Dia khawatir jika Ba'asyir bebas maka akan kembali menyebarkan paham radikal. Rencana pembebasan Ba'asyir juga belum bisa dipastikan karena beberapa hal. Salah satunya adalah soal penandatanganan surat ikrar setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditolak Ba'asyir. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan sudah mengutus Ditjen Pemasyarakatan untuk menyiapkan dan mengirim sejumlah dokumen terkait pembebasan Ba'asyir. Namun, dia menyatakan salah satu yang paling penting adalah kesediaan Ba'asyir meneken surat ikrar setia itu. "Ya sudah, kalau memang belum kan kita tidak bisa melakukan apa-apa," ujar Yasonna. Ngadu ke DPR Sementara itu, Tim kuasa hukum beserta perwakilan keluarga terpidana Abu Bakar Ba'asyir menyambangi Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (23/1) malam. Mereka mendatangi ruang kerja Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Mereka curhat mengenai rencana pembebasan ustad yang kini masih menyandang narapidana kasus terorisme itu tersendat dan bisa jadi batal. Kuasa hukum Abu Ba'asyir Mahendradatta mengaku aneh dengan rencana pembebasan kliennya yang akhirnya ditunda oleh pemerintah. Padahal, kata Mahendra, sejak awal, Ba'asyir tidak pernah meminta untuk dibebaskan dengan cara grasi. Bahkan, rencana pembebasan justru dihembuskan oleh pengacara tim kampanye nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Yusril Ihza Mahendra. Diketahui, pada 12 Januari, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu datang ke lapas Gunung Sindur untuk menemui kliennya. "Dia (Yusril) itu telah meyakinkan presiden dan lain sebagainya, pokoknya presiden udah setuju lah dengan pembebasan ustad," kata Mahendra. Mahendra juga menyebutkan, dalam kesempatan itu tak ada perjanjian mengenai pembebasan bersyarat sebagaimana yang diberitakan belakangan ini. Dalam kesempatan itu, Yusril menjanjikan bahwa Ba'asyir bakal bebas tanpa syarat. Tak lama berselang, ucapan Yusril langsung ditegaskan oleh Jokowi dalam sebuah acara di Garut, Jawa Barat. Dalam pidatonya, Mantan Gubernur DKI Jakarta itu berjanji bakal membebaskan Ba'asyir tanpa syarat. "Jadi itu gayung bersambut, ada pernyataan presiden RI karena saya lihat pakai emblem presiden sininya (dada)," tuturnya. Setelah semua dirasa keputusan hampir final, Mahendra pun heran tiba-tiba muncul isu untuk menandatangani ikrar terhadap NKRI. Dalam beberapa keterangan pejabat, dia menyebut bahwa Ba'asyir menolak untuk setia terhadap pancasila. "Saya terus terang kami semua juga bingung, ini siapa yang ngomong. Kami terakhir tadi siang konfirmasi ustad disodorkan surat pernyataan itu saja belum pernah. Kok bisa lebih tau gitu," tuturnya. Atas dasar itu semua, Mahendra mengaku tambah heran ketika para menteri Jokowi meminta presidennya untuk mengkaji ulang pembebasan Ba'asyir. Dia lantas melaporkan kejanggalan ini untuk diusut oleh pimpinan DPR. "Presiden menyatakan akan membebaskan ABB atas dasar kemanusiaan. Tiba-tiba Pak Wiranto menyatakan akan dikaji ulang. Kalau mau dikaji sudah 4 tahun memerintah, kenapa baru dikaji sekarang," pungkasnya. Sementara itu, Fadli Zon mengaku akan menindak lanjuti laporan dari pengacara Abu Bakar Ba'asyir tersebut. Apalagi, masalah ini dinilai telah menjadi sorotan nasional maupun internasional. "Saya kira harus ada yang bertanggung jawab dalam masalah ini. Kita akan kaji, berharap bisa diselesaikan dengan prosedur yang ada," pungkasnya.(cnn/jp)
Australia Hormati Keputusan RI
Kamis 24-01-2019,04:57 WIB
Editor : Redaksi Tangeks
Kategori :