Anak Krakatau Erupsi Lagi, 5 Km dari Kawah Berbahaya

Jumat 04-01-2019,05:16 WIB
Reporter : Redaksi Tangeks
Editor : Redaksi Tangeks

JAKARTA-Gunung Anak Krakatau erupsi lagi. Kolom abu mencapai 2.000 meter dari puncak gunung. Berdasarkan informasi dari Pos Pengamatan Gunungapi Anak Krakatau, erupsi terjadi pada pukul 10.17 WIB, kemarin (3/1). Tinggi kolom abu teramati 2.000 meter di atas puncak. Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah utara dan timur laut. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 22 mm dan durasi 2 menit 8 detik. Saat ini Gunung Anak Krakatau berada pada Status Level III (Siaga) dengan rekomendasi: masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 5 km dari kawah. Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar mengatakan, berdasarkan hasil evaluasi seismik dan data visual yang dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terhadap Gunung Anak Krakatau menunjukkan saat ini masih dalam fase erupsi. "Saat ini, masih terekam kegempaan di stasiun seismik di Pulau Sertung berupa gempa-gempa letusan, hembusan, dan tremor menerus dengan amplitudo maksimum dominan 7mm," terangnya, kemarin (3/1). Tingkat aktivitas GAK, sambung dia masih Siaga (level III) dan erupsi masih terjadi sehingga masih terdapat ancaman berupa lontaran material letusan, sehingga direkomendasikan untuk tidak mendekat dalam radius 5 kilometer dari kawah, yaitu di dalam area yang dibatasi oleh Pulau Rakata, Pulau Sertung, Pulau Panjang. "Status Siaga ini hanya berlaku untuk aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau," terangnya. Rudi juga menjelaskan bahwa tidak ada potensi terjadinya tsunami dari aktivitas vulkanik GAK tersebut. "Berdasarkan analisis data yang dimiliki, badan geologi menyimpulkan bahwa tidak ada potensi terjadinya tsunami yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau," lanjut Rudy. Terpisah Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan tim evakuasi telah memakamkan 429 jenazah dari 437 korban tewas akibat tsunami Selat Sunda hingga Kamis (3/1). "Sementara delapan jenazah yang belum dimakamkan belum teridentifikasi," terang Sutopo, kemarin. Menurut Sutopo, data korban tewas hingga hari ini masih sama dengan data terakhir yang dirilis pada 31 Desember 2018. Begitu pula dengan jumlah korban luka yang mencapai 1.459 orang dan hilang sebanyak 10 orang. Perbedaannya terletak pada jumlah pengungsi. BNPB mencatat saat ini terdapat 36.923 orang yang mengungsi dari tempat tinggalnya. Dari total tersebut, Sutopo menyatakan hanya sekitar 10 ribu orang yang mengungsi karena kehilangan rumah. "Sebagian besar lainnya mengungsi karena trauma dengan tsunami," kata dia. Di Kabupaten Pandeglang, sejumlah pengungsi menempati sekolah sambil menunggu hunian sementara selesai dibangun. Mendekati berakhirnya liburan sekolah, pemerintah setempat akan memindahkan mereka ke lokasi lain agar tak menggangu proses belajar mengajar di sekolah. Sementara itu potensi tsunami lagi aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) diperkirakan semakin kecil. Sebab, berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM tinggi gunung tersebut menjadi sekitar 110 meter dari sebelumnya 338 meter. Temuan tersebut sekaligus juga membuka kembali dugaan-dugaan lain penyebab tsunami yang menerjang Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Sebelumnya, hipotesa penyebab tsunami itu diduga karena longsoran pada tubuh GAK pada Sabtu (22/12) malam. Sedangkan turunnya tinggi gunung dari 338 meter menjadi 110 meter itu diduga terjadi pada Rabu (26/12) hingga Kamis (27/12). Pada Kamis tengah malam, pola letusan berubah letusan tajam menjadi surtesyan yang terjadi di permukaan air laut. "Apakah seluruh badan gunung diletuskan saat itu? kan tidak logikanya. Jadi tidak juga semua jadi abu. Kan mesti ada yang kelempar ke samping nyemplung ke air, kok tidak ada tsunami?" ujar Sekretaris Badan Geologi Antonius Radmopurbo, kemarin (3/12). Menurut PVMBG dengan penurunan tinggi gunung itu membuat volume Anak Krakatau yang hilang diperkirakan sekitar antara 150-180 juta meter kubik. Sementara volume yang tersisa saat ini diperkirakan antara 40-70 juta meter kubik. Dengan turunnya tinggi gunung tersebut membuat potensi tsunami untuk saat ini menjadi lebih kecil. Karena, bila mengacu pada hipotesa terjadi longsoran besar, maka jumlah volume gunung tentu sudah banyak berkurang. "Saya tetap, potensinya (tsunami) kecil, lha modalnya kecil. Kalau yang dipakai hipotesa bahwa tsunami itu disebabkan oleh longsor,"ungkap dia. Meskipun begitu PVMBG tetap memastikan bahwa status Gunung Anak Krakatau berada di level III atau siaga. Selain itu BMKG juga memantau terjadinya gempa di Filipina tenggara yang berkekuatan 7,1 M. Gempa ini dirasakan sampai ke wilayah Indonesia, khususnya daerah Sulawesi Utara. BMKG memastikan bahwa gempa yang dirasakan warga Indonesia selama enam detik tersebut tidak berpotensi tsunami. Gempa ini terjadi pukul 10.39 WIB kemarin. Titik gempa berada di 201 km arah timur laut Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Titik gempa diperkirakan berada pada kedalaman 69 km. Ditinjau dari lokasi episentrumnya, gempa ini dipicu oleh aktivitas subduksi Lempeng Laut Filipina yang menunjam ke bawah laut Pulau Mindanau, Filipina. (fin/ful)

Tags :
Kategori :

Terkait